TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekjen FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), Ervyn Young, mengatakan bahwa pergantian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) mesti dipikirkan kembali. Ervyn tidak menginginkan kebijakan yang digagas Presiden Prabowo Subianto ini nantinya bisa merugikan wong cilik atau rakyat kecil, terkhusus para nelayan.
"Jika subsidi nelayan dialihkan ke BLT, apa nelayan kecil kita yang jumlahnya 95 persen dari total nelayan nasional itu berhenti melaut, tidak bukan? Itu berarti BBM harus tetap disediakan," kata Ervyn dalam keterangannya seperti dikutip Tempo, Sabtu, 26 Oktober 2024.
Sebelumnya, dalam pidato perdana usai dilantik sebagai presiden pada Minggu, 20 Oktober lalu. Prabowo mengumbar banyak janji di bidang ekonomi. Salah satunya memastikan subsidi bagi masyarakat miskin tepat sasaran melalui skema penyaluran langsung.
Sementara itu Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Burhanuddin Abdullah menyebut skema subsidi energi diubah menjadi bantuan langsung tunai ke orang, tidak lagi ke barang. Diberikan transfer tunai langsung kepada masyarakat miskin.
Menurut Ervyn yang juga Core Team Koalisi Kusuka Nelayan Indonesia, pemerintah sebaiknya berhati-hati dalam mengambil kebijakan menyangkut warga cilik. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru melepaskan negara dari tanggungjawab untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan mengurangi ketimpangan.
"Subsidi itu jauh berbeda dengan BLT yang ditujukan lebih kepada perlindungan sosial saat ada guncangan ekonomi. Jika kebijakan fiskal bentuknya subsidi, orang jadi lebih mudah bekerja dan berproduksi, tapi kalau BLT, dananya itu justru digunakan untuk menalangi biaya hidup harian, bahkan sering terjadi justru dibelanjakan untuk yang tidak perlu," urainya.
Ervyn mencontohkan bahwa di sektor kelautan dan perikanan, pemerintah sepanjang 2016-2021 telah mengalokasikan kuota solar untuk nelayan pemilik kapal 30 GT ke bawah dengan jumlah rata-rata 1,96 juta kilo liter per tahun atau sekitar 12 persen dari total kuota BBM JT Solar yang disubsidi. Namun selama bertahun-tahun, realisasi subsidi BBM yang sampai ke nelayan rerata hanya 26 persen. Sisanya, sebagian besar 74 persen, justru dialihkan oleh BPH Migas ke sektor lain.
"Pertanyaannya kenapa subsidi BBM Solar tidak terserap di sektor perikanan. Jelas karena implementasi program tersebut buruk. Anggarannya sudah dialokasikan, tapi itu tidak sampai ke nelayan,” ujarnya.
Hasil kajian Seknas Fitra di 10 provinsi pada 2021 menemukan bahwa 82,8 persen nelayan kecil tidak memiliki akses terhadap BBM bersubsidi. Sekitar 83,19 persen nelayan kecil membeli BBM di eceran dengan harga yang tinggi. Sehingga para nelayan harus keluar modal lebih besar. “Realisasi solar subsidi 2016-2021, paling besar diserap sektor transportasi darat (92 persen). Sektor transportasi laut menyerap sekitar 4-5 persen. Sementara usaha perikanan serapannya hanya 3-4 persen," jelasnya.
Iklan
Ervyn mengungkapkan bahwa menurut beberapa studi, komponen BBM menyerap 60-70 persen biaya produksi nelayan kecil untuk melaut. Sisanya untuk logistik. Jadi jika mereka bisa mendapat BBM Solar dengan harga subsidi sesuai program pemerintah, pendapatan mereka bisa jauh lebih tinggi.
Penyebab subsidi solar BBM tidak sampai ke nelayan, pertama karena pendataan nelayan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) sangat lambat. Selanjutnya, nelayan kecil mengalami diskriminasi karena dibebani dengan persyaratan administrasi yang rumit untuk memperoleh subsidi BBM, di tengah pelayanan administrasi perizinan yang masih buruk di daerah. Akibatnya, surat rekomendasi pembelian BBM sulit diperoleh nelayan.
"Lebih-lebih lagi untuk nelayan yang di wilayah Timur Indonesia. Umumnya mereka menggunakan pertalite tapi juga dengan kondisi serupa, sulit diakses karena umumnya jauh dari lokasi aktivitas nelayan. Dalam banyak kasus, yang tersedia justru cuma Pertamax dan nelayan kecil terpaksa membelinya. Saya kira Pak Menteri Bahlil mesti benar-benar memikirkan ini untuk membantu rakyat kita di Kawasan Wallacea sampai ke sekitar Papua, " ujar pria kelahiran Pulau Sumbawa, NTB ini.
Faktor lainnya ialah masih sangat minimnya infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar khusus nelayan yang dapat diakses dengan mudah. Jumlah SPBUN yang tersedia hanya 380 atau cuma 3 persen dibanding jumlah desa pesisir yang mencapai. 11.984 desa. Situasi ini diperparah oleh kuota BBM subsidi yang terbatas, tidak sesuai dengan kebutuhan melaut nelayan pada setiap daerah.
Karena itu, lanjut Ervyn, kebijakan subsidi memiliki tujuan yang sangat berbeda dengan BLT. Jika subsidi BBM dihapuskan, nelayan bisa makin terpuruk karena adanya kenaikan harga BBM setelah subsidi yang selama ini menjadi shock breaker malah dihapuskan. Ia menekankan bahwa pemerintah tidak boleh lepas tangan terkait hal ini.
Ervyn mengatakan masalah utama dalam subsidi BBM memang pada ketidaktepatan sasaran yang menyebabkan subsidi BBM belum dinikmati oleh mereka yang berhak. Pemerintah semestinya menyelesaikan persoalan tersebut dengan memperbaiki sistem dan memperkuat pengawasan bukan justru mengubahnya jadi BLT, atau dialihkan ke sektor lain.
Selain itu, Presiden Prabowo juga didorong melakukan hilirisasi perikanan yang memampukan nelayan kecil. “Sehingga laut bisa jadi jalan kesejahteraan untuk nelayan tradisional kita yang kondisi hidupnya masih terpuruk. Berharap bisa dilihat secara integral, lebih menyeluruh, yang dibimbing oleh keberpihakan kepada rakyat kecil. Saya kira itu baru bener namanya nasionalis sejati," pungkasnya .
Pilihan Editor: Ledakan Pabrik di IMIP Kembali Terjadi, Satu Pekerja Dilaporkan Meninggal