TEMPO.CO, Jakarta - Tiga orang hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menangani perkara Gregorius Ronald Tannur, ditangkap oleh Kejaksaan Agung di Pengadilan Negeri Surabaya. Penangkapan ini dilakukan atas dugaan suap atau gratifikasi yang dilakukan oleh para oknum hakim tersebut.
"Atas dugaan suap atau gratifikasi yang dilakukan oleh oknum Hakim PN Surabaya terkait dengan penanganan perkara atas nama Ronald Tannur," ujar Kasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jatim, Windhu Sugiarto saat dihubungi Tempo, Rabu, 24 Juli 2024. Adapun ketiga hakim yang ditangkap tersebut adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
Hakim tersebut sebelumnya memutus bebas Ronald Tannur atas dakwaan pembunuhan kekasihnya, Dini Sera Afrianti pada 24 Juli 2024. Sebelumnya, jaksa menuntut Ronald Tannur hukuman 12 tahun pidana penjara dan membayar restitusi pada keluarga korban senilai Rp 263,6 juta subsider kurungan 6 bulan.
Menanggapi penangkapan itu, Mahkamah Agung pun memberhentikan sementara tiga hakim PN Surabaya tersebut. "Terhadap tiga tersebut setelah mendapat kepastian penahanan oleh Kejaksaan Agung, secara administrasi hakim tersebut akan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden atas usul MA," ujar Jubir Mahkamah Agung, Hakim Agung Yanto di Gedung MA, Kamis, 24 Oktober 2024.
Lantas, seperti apa profil tiga hakim kasus Ronald Tannur yang ditangkap oleh Kejaksaan Agung atas dugaan suap tersebut? Berikut rangkuman informasi selengkapnya.
Profil Erintuah Damanik
Salah satu hakim kasus Ronald Tannur yang ditangkap Kejaksaan Agung adalah Erintuah Damanik. Dia adalah Ketua Majelis Hakim dalam tuduhan pembunuhan oleh anak mantan anggota DPR itu.
Erintuah lahir di Pematangsiantar pada 24 Juli 1961. Dia merupakan hakim Pembina Utama Madya di PN Surabaya untuk perkara Kelas IA Khusus. Dia pernah menempuh pendidikan S1 Hukum di Universitas Jember (Unej) dan lulus pada 1986. Lalu, dia melanjutkan studinya ke program magister (S2) Ilmu Hukum di Universitas Tanjungpura (Untan) dan tamat pada 2009.
Erintuah pernah bertugas di PN Medan. Ada sejumlah perkara yang diadilinya, antara lain dugaan penipuan dan penggelapan uang Rp 15,3 miliar yang dilakukan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Ramadhan Pohan pada Desember 2016. Dia juga menangani perkara kematian Hakim PN Medan Jamaluddin yang diduga dibunuh pada November 2019.
Selain itu, Erintuah juga tercatat pernah menjadi ketua majelis hakim dalam sidang kasus korupsi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Grobogan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Jawa Tengah pada awal tahun 2013. Adapun salah satu terdakwa yang diadili, yaitu hakim ad hoc non aktif Pengadilan Tipikor Pontianak Heru Kisbandono.
Profil Mangapul
Hakim Mangapul lahir di Labuhanbatu pada 23 Juni 1964. Dia merupakan hakim mediator PN Surabaya Kelas IA Khusus dengan pangkat Pembina Utama Madya, golongan IV/d. Dia pernah menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Ketua PN Tebing Tinggi pada 2021.
Iklan
Mangapul mengawali pendidikan tingginya di Universitas HKBP Nommensen, Medan dan lulus pada 1989. Kemudian, dia meneruskan ke jenjang S2 Hukum di Universitas Pembangunan Panca Budi dan tamat pada 2016.
Profil Heru Hanindyo
Hakim kasus Ronald Tannur yang ditangkap Kejaksaan Agung selanjutnya adalah Heru Hanindyo. Dia lahir di Dompu, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada 2 Februari 1979. Saat ini, Heru merupakan hakim dengan pangkat Pembina Utama Muda, golongan IV/c.
Sebelum menjadi hakim, Heru meraih dua gelar sarjana, yaitu pada program studi Akuntansi dari Universitas Trisakti (2001) dan Ilmu Hukum di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam (2003).
Dia juga lulus pendidikan pascasarjana di tiga tempat, yaitu Magister Manajemen di Universitas Trisakti (2003), Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran (Unpad) pada 2004, dan Hukum di Kyushu University, Jepang (2013).
Sebelum bertugas di PN Surabaya pada November 2023, Heru sempat menjadi hakim di PN Jakarta Pusat. Saat itu dia pernah bertindak sebagai ketua majelis hakim yang memenangkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada September 2019.
Karhutla di atas lahan seluas 1.500 hektare tersebut mengakibatkan kerusakan lahan gambut areal PT Agri Bumi Sentosa (ABS) di Desa Karya Tani, Kecamatan Barambai, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Dalam putusan pada 28 Desember 2022, Heru menyatakan PT ABS terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 160.691.175.300 dan biaya pemulihan lingkungan hidup sebesar Rp 591.555.032.300.
JIHAN RISTIYANTI | MELYNDA DWI PUSPITA berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Mahfud MD Apresiasi Kejaksaan Atas Pengungkapan Kasus Dugaan Suap 3 Hakim yang Vonis Ronald Tannur