TEMPO.CO, Jakarta - Edward Omar Sharif Hiariej atau yang akrab disebut Eddy Hiariej menjadi Wakil Menteri Hukum dalam Kabinet Merah Putih yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto. Eddy sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di era Presiden Joko Widodo.
Eddy lahir di Ambon, Maluku pada 10 April 1973. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas pada 1992, dia menempuh jenjang pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Dia sempat gagal lulus tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), namun akhirnya duduk di Fakultas Hukum UGM pada 1993
Eddy menyelesaikan pendidikan strata 1 pada 1998 dan langsung. Dia kemudian mengabdi sebagai dosen di UGM. Eddy menempuh pendidikan strata 2 empat tahun berselang dan lulus pada 2004. Eddy meraih gelar doktor dari kampus yang sama pada 2009 dan akhirnya diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pidana FH UGM pada usia 37 tahun, tepatnya pada tahun 2010.
Selain sebagai dosen, Eddy juga dikenal rajin menerbitkan buku. Dia pernah menulis buku berjudul Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana (2009), Teori dan hukum Pembuktian (2012), Prinsip-prinsip Hukum Pidana (2016), Pengantar Hukum Pidana Internasional (2009), Hukum Acara Pidana (2015), Pengadilan Atas beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM (2010) dan sebagainya.
Meski tergolong masih muda, ia sudah sering terlibat sebagai saksi ahli di berbagai persidangan. Satu di antaranya adalah bersaksi di kasus yang menjerat eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, pada tahun 2017.
Karier politik hingga tersandung kasus korupsi
Sebelum masuk kabinet untuk pertama kalinya, Eddy sempat menjadi saksi ahli pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam sidang sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi. Pada 23 Desember 2020, Jokowi pun mengangkatnya sebagai Wamenkumham, mendampingi Yasonna Laoly yang menjabat sebagai menteri.
Eddy mengundurkan diri dari posisinya tiga tahun kemudian, tepatnya pada 6 Desember 2023. Dia mundur setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi.
KPK menduga Eddy menerima aliran dana dari pengusaha Helmut Hermawan dalam pengurusan sengketa kepempilikan PT Citra Lampia Mandiri. Perusahaan itu memiliki konsesi tambang nikel seluas 2.660 hektare di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Menurut penyidikan KPK saat itu, Eddy menerima aliran dana melalui dua orang dekatnya, Yogi Arie Rukmana dan Yosi Andika Mulyadi. Eddy diduga memperjual-belikan kekuasaannya untuk memihak salah satu kubu yang bersengketa.
Tak terima dengan penetapan status tersangka itu, Eddy Hiariej mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim tunggal Estiono pun mengabulkan gugatan Edy dan menyatakan penetapan tersangka oleh KPK tidak sah.
KPK sempat menyatakan akan kembali menetapkan Eddy sebagai tersangka pasca putusan praperadilan itu. Pasalnya, putusan itu hanya mempermasalahkan prosedur hukum, bukan substansi perkara. Namun, hingga saat ini KPK tak kunjung mengeluarkan surat perintah penyidikan baru terhadap Eddy.
Pilihan editor: Bukti Lama Sprindik Baru untuk Eddy Hiariej
Selanjutnya, kekayaan Eddy Hiariej