Rencana Deforestasi untuk Buka Lahan Sawit dan 20 Juta Hektare Hutan Dinilai Membahayakan Masyarakat Adat

2 days ago 10

TEMPO.CO, Jakarta - Rencana deforestasi untuk pembukaan lahan kelapa sawit dan 20 juta hektare lahan hutan untuk pangan dan energi yang disampaikan oleh Presiden Prabowo dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menuai kritik keras dari pengamat. Peneliti The Indonesian Institute Christina Clarissa Intania menilai kebijakan tersebut tidak hanya mengancam kelestarian alam tetapi juga keberlanjutan hidup masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan.

Christina menegaskan bahwa rencana deforestasi yang begitu luas berisiko menggusur masyarakat adat dari tanah mereka yang selama ini belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. "Banyak wilayah adat yang belum mendapat pengakuan formal, sehingga hak-hak mereka, baik sebagai pemilik tanah maupun atas kelangsungan hidup mereka, terancam," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat, 3 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Christina, kebijakan tersebut berpotensi menambah beban konflik agraria yang sudah berlangsung lama, mengingat luasnya area hutan yang direncanakan untuk dialihfungsikan. "Dengan adanya polemik pengakuan wilayah adat, wacana deforestasi ini bisa memperburuk keadaan, memperbesar potensi pergeseran masyarakat adat secara paksa."

Christina juga menyoroti bahwa Indonesia sebagai anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) harus berkomitmen untuk melindungi setidaknya 30 persen dari wilayah daratan, perairan, dan laut untuk konservasi. Hal tersebut tercantum dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal yang mengharuskan pengakuan terhadap wilayah tradisional dan masyarakat adat.

"Kementerian Kehutanan perlu memikirkan kembali kebijakan ini, agar kerusakan alam dan dampak sosial dari kebijakan ini dapat diminimalkan," ujar dia.

Selain itu, Christina mengingatkan pentingnya pemerintah untuk memberikan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Ia menekankan bahwa kebijakan yang mengabaikan hak properti masyarakat adat hanya akan memperburuk marjinalisasi mereka. "Pemerintah harus menghormati keberadaan masyarakat adat, dan ini harus diwujudkan dengan pemberian pengakuan yang sah," ujarnya.

Salah satu langkah yang menurut Christina sangat mendesak adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. "RUU ini sudah lama tertunda dan sangat penting untuk melindungi masyarakat adat dari ancaman-ancaman yang dapat mengancam keberlangsungan hidup mereka," kata dia.

Ke depan, kebijakan yang inklusif dan menghormati hak-hak masyarakat adat dinilai akan memperkuat keberagaman dan keadilan sosial, serta menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengatakan lahan kelapa sawit di Indonesia perlu ditambah. Sebab, kelapa sawit menjadi komoditas strategis. Menurut Prabowo, saat dia melakukan lawatannya ke luar negeri banyak negara yang berharap mendapat pasokan produk sawit dari Indonesia.

"Saya kira ke depan kita harus tambah tanam sawit. Nggak usah takut membahayakan, deforestasi," kata Prabowo dalam pidatonya di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Bappenas, Senin, 30 Desember 2024.

Prabowo berujar, kelapa sawit merupakan pohon dan memiliki daun. Karena itu, tanaman ini bisa menyerap karbondioksida. "Dari mana kok kita dituduh yang mboten-mboten saja (yang tidak-tidak) oleh orang-orang itu."

Selain mengatakan lahan sawit perlu diperluas, Prabowo meminta agar lahan sawit yang sudah ada di Indonesia untuk dijaga. Ia menginstruksikan ini kepada kepala daerah hingga aparat penegak hukum. "Bupati, gubernur, pejabat, tentara, polisi, jagalah kebun-kebun kelapa sawit kita. Itu aset negara," ujar Prabowo. 

Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |