Sejumlah Kekalahan KPK di Praperadilan dari Kasus Budi Gunawan, Eddy Hiariej sampai Sahbirin Noor Alias Paman Birin

3 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK untuk kesekian kalinya kalah di praperadilan. Teranyar, lembaga antirasuah ini disebut berlaku sewenang-wenang terkait penetapan tersangka kasus korupsi terhadap eks Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor alias Paman Birin. Karenanya, penetapan tersebut divonis tidak sah.

“Menyatakan bahwa perbuatan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka merupakan perbuatan yang sewenang-wenang dalam perintah hukum dan dinyatakan batal,” kata Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Afrizal Hady saat membacakan putusan pada Selasa, 12 November 2024.

Berdasarkan catatan Tempo, KPK telah beberapa kali kalah di praperadilan terkait penetapan tersangka terduga koruptor. Beberapa di antaranya lembaga antirasuah memang berhasil menyeret kembali para penjahat kerah putih ke kursi pesakitan. Namun, tak sedikit pula kasus korupsi yang mandek pengusutannya setelah KPK dinyatakan kalah praperadilan.

Berikut sederet kekalahan KPK di peradilan:

1. Kasus dugaan korupsi Eddy Hiariej

Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej saat ini merupakan Wakil Menteri Hukum di kabinet pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ia pernah tersandung kasus dugaan korupsi saat menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi.

Eddy saat itu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan suap dan gratifikasi pada 9 November 2023. Dia diduga menerima gratifikasi senilai Rp 7 miliar. Usai ditetapkan sebagai tersangka, eks Wamenkumham ini kemudian mengajukan praperadilan, bahkan sampai dua kali.

Eddy lolos dari jeratan KPK setelah hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Estiono, mengabulkan permohonan praperadilan pembatalan penetapan sebagai tersangka terhadap dirinya. Hakim menyebut penetapan tersangka KPK terhadap pemohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, sejak putusan praperadilan keluar hingga hari ini, belum ada sprindik baru untuk melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi Eddy Hiariej. “Iya belum, pasca putusan praperadilan,” kata Alex dikonfirmasi Tempo, Senin, 21 Oktober 2024.

Alex enggan menyebutkan alasan mengapa pimpinan KPK tak kunjung mengeluarkan sprindik baru terkait kasus Eddy Hiariej tersebut. Padahal, lembaga antirasuah itu meyakini telah memiliki bukti kuat untuk menjerat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tersebut.

Koran Tempo edisi 6 April 2024 melaporkan, seorang aparat penegak hukum bercerita penyidik sebenarnya sudah meminta agar surat perintah penyidikan (sprindik) baru itu diterbitkan sejak 15 Maret 2024. Namun, surat itu mandek di meja Deputi Penindakan KPK Brigadir Jenderal Rudi Setiawan.

Presiden Prabowo Subianto mengucapkan selamat kepada Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan usai acara pelantikan menteri Kabinet Merah Putih (KMP) di Istana Negara, Jakarta, Senin 21 Oktober 2024. Menteri KMP terdiri dari 53 orang menteri. Daftar itu terdiri dari tujuh kementerian koordinator, empat puluh satu kementerian, serta lima kepala lembaga. Sejumlah menteri di pemerintahan Presiden Jokowi kembali menjabat. TEMPO/Subekti.

2. Kasus dugaan korupsi Budi Gunawan

Jenderal Polisi (Purn.) Tan Sri Budi Gunawan merupakan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan sekaligus Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) saat ini. Dia pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2015 terkait dugaan penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.

Atas penetapannya tersebut, Budi yang kala itu berpangkat Komjen, lalu mengajukan permohonan praperadilan. Sidang praperadilan yang dimohonkan Budi diputus pada Senin, 16 Februari 2015. Hakim tunggal Sarpin Rizaldi mengabulkan sebagian permohonan itu. Sprindik-03/01/01/2015 tertanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Budi sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyebutkan, terdapat setidaknya dua kelemahan putusan hakim dalam sidang praperadilan terhadap Komjen Budi Gunawan tersebut. PSHK menilai hakim Sarpin telah melampaui kewenangan dan menggunakan penafsiran berbeda dalam memutuskan perkara.

“Hakim menggunakan pembuktian hukum pidana, yang seharusnya diperiksa pada persidangan pokok perkara, bukan praperadilan,” ujar peneliti PSHK Miko Ginting dalam keterangan tertulis, Senin, 16 Februari 2015.

3. Kasus dugaan korupsi Hadi Poernomo

Hadi Poernomo adalah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009-2014. KPK menetapkannya sebagai tersangka dalam perkara permohonan keberatan wajib pajak Bank Central Asia (BCA). Kasus terjadi kala ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak. Hadi dianggap bertanggung jawab atas penerimaan permohonan keberatan tersebut. Negara mengalami kerugian senilai Rp5,7 triliun dalam kasus ini.

Perkara berawal pada 12 Juli 2003. BCA mengajukan surat keterangan keberatan pajak transaksi non-performance loan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Awalnya, pihak DJP menolak permohonan tersebut. Namun, sehari sebelum jatuh tempo, diduga atas perintah Hadi Poernomo, keputusan itu diubah menerima keberatan BCA.

Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, Hadi lantas mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam prosesnya, dia memenangkan gugatan tersebut. Permohonan gugatan Hadi terhadap KPK dikabulkan hakim Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

KPK lalu mengajukan langkah hukum hingga ke tingkat peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Namun, dalam sidang yang digelar di MA pada 16 Juni 2016, Hadi Poernomo dipastikan bebas dari jeratan hukum KPK. MA menolak permintaan PK terkait putusan praperadilan sebelumnya.

“Sudah diputuskan dan pengajuan PK dari jaksa KPK dinyatakan tidak diterima oleh majelis hakim,” kata Juru Bicara MA Suhadi di Jakarta, Selasa, 28 Juni 2016.

4. Kasus korupsi Ilham Arief Sirajuddin

Ilham Arief Sirajuddin adalah Mantan Wali Kota Makassar. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 7 Mei 2014 dalam kasus dugaan korupsi terkait kerja sama kelola dan transfer untuk instalasi PDAM Kota Makassar pada 2006-2012. Negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 38,1 miliar.

Arief lalu mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Keputusan hukum kemudian dibacakan pada Selasa, 12 Mei 2015. Mantan Wali Kota itu memenangkan gugatan praperadilan tersebut. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Yuningtyas Upiek menyatakan penetapan status tersangka terhadap Arif oleh KPK tidak sah

“Penetapan tersangka atas nama Ilham Arief Sirajuddin tidak sah karena termohon tidak dapat membuktikan dua alat bukti yang cukup,” katanya saat membacakan putusan

Sempat lolos dari status tersangka karena praperadilannya diterima Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Arief Sirajuddin kembali ditetapkan KPK sebagai tersangka dengan bukti baru. Ilham pun kembali mengajukan praperadilan. Namun hakim tunggal Amat Khusairi menolak permohonan Ilham untuk seluruhnya pada sidang putusan di PN Jaksel.

Di Pengadilan Tipikor Jakarta, Arief Divonis 4 tahun penjara. Setelah itu, di tingkat banding hukumannya ditingkatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI jadi 6 tahun penjara. Namun, MA meringankan vonis eks Wali Kota Makassar itu, kembali menjadi 4 tahun penjara. Resmi ditahan pada 10 Juli 2015, dia bebas pada 15 Juli 2019.

5. Kasus korupsi Marthen Dira Tome

Marthen Dira Tome adalah bekas Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Barat atau NTT. Kasus korupsinya terbongkar bermula saat ia diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Kupang dan kemudian Kejaksaan Tinggi NTT terkait dugaan korupsi dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT pada 2007

Dalam perkembangannya, kasus ini mandek dan diambil alih oleh KPK. KPK mengambil alih kasus Bupati Sabu Raijua mengacu pada Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 6, 7, 8 dan 9. Oleh KPK, Marthen sempat ditetapkan sebagai tersangka. Dia sempat lolos karena menang gugatan praperadilan di PN Jaksel dalam putusan sidang pada Rabu, 18 Mei 2016.

KPK tak menyerah dan kembali membuka penyidikan atas kasus Marthen serta menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka untuk kedua kalinya pada 30 Oktober 2016. Dalam kasus ini, negara diduga dirugikan sebesar Rp77 miliar. Marthen juga gigih untuk lolos dari jerat hukum. Dia kembali mengajukan praperadilan. Namun kali ini KPK yang menang.

Dalam putusannya pada persidangan Rabu, 22 Desember 2016, hakim tunggal Nelson Sianturi menyatakan, penetapan Marthen sebagai tersangka oleh KPK sah dan tidak bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Nelson menyatakan, KPK menetapkan status tersangka atas Marhten berdasarkan dua alat bukti yang cukup.

Jaksa KPK menuntut Marthen dihukum 12 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 3,735 miliar subsider 5 tahun penjara. Namun Pengadilan Tipikor Surabaya hanya menghukum Marthen 3 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 1,5 miliar.

Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Surabaya bahkan korting hukuman lebih parah. Pengadilan justru mengubah vonis Marthen menjadi hanya 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan. Sedangkan kewajiban membayar uang pengganti dihilangkan.

Di tingkat kasasi, MA akhirnya memperberat hukuman Marthen menjadi 7 tahun penjara. Selain dihukum penjara, berdasarkan putusan MA pada Mei 2018, Marthen dikenakan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp1,5 miliar subsider 3 tahun kurungan.

5. Kasus korupsi Setya Novanto

Setya Novanto atau Setnov adalah bekas Ketua DPR RI era 2016-2017. KPK menetapkan Setya sebagai tersangka korupsi e-KTP. Mulanya e-KTP direncanakan Kementerian Dalam Negari (Kemendagri) masuk proyek strategis nasional pada 2009. Proyek itu baru berjalan dari 2011-2012. Masalah pun muncul setelah KPK mengendus adanya penggelembungan dana.

Dalam prosesnya, Setya disebut terlibat. Setya pun mengambil opsi praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah ditetapkan sebagai tersangka. Pengajuan praperadilan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam putusan pada 29 September 2017, hakim Cepi Iskandar membebaskannya dari status tersangka.

Tak mau dipecundangi, KPK lalu kembali melakukan penyelidikan dan memperkuat bukti-bukti. Setelah itu lembaga antirasuah itu kembali menetapkan Ketua Umum Golkar itu sebagai tersangka. Tapi lagi-lagi Setnov mengajukan gugatan. KPK sempat tak hadir pada sidang sehingga putusan praperadilan belum diputuskan.

Ketidakhadiran itu bukan tanpa pertimbangan. KPK gerak cepat menyusun kelengkapan berkas dan dilimpahkan segera ke Pengadilan Tipikor. Berdasarkan Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP, praperadilan akan gugur setelah berkas dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Siasat KPK itu membuat hakim tunggal Kusno memutuskan status praperadilan Setya yang kedua gugur pada 14 Desember 2017.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor kemudian menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Setnov. Amar putusannya dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa, 24 April 2018. Selain dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, dia juga diharuskan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Pada 17 Agustus 2023, Setnov mendapatkan remisi masa tahanan. Remisi yang didapatnya ini merupakan kali kedua. Pada April 2023 dia juga telah mendapatkan remisi khusus Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah. Mantan Ketua DPR RI itu mendapatkan remisi hari raya selama satu bulan dari Lapas Sukamiskin.

6. Kasus dugaan korupsi Sahbirin Noor

Sahbirin Noor atau Paman Birin adalah Gubernur Kalimantan Selatan yang belum lama ini mengundurkan diri. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 8 Oktober 2024 terkait kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa di Kalimantan Selatan. Penetapan tersebut setelah KPK menggelar Operasi Tangkap Tangan atau OTT dua hari sebelumnya dan mengamankan sejumlah orang dan barang bukti yang senilai lebih dari Rp 12 miliar.

Menurut KPK, Sahbirin diduga menerima suap berupa fee sebesar 5 persen dari sejumlah proyek infrastruktur seperti pembangunan lapangan sepak bola, kolam renang, dan gedung Samsat. Uang ini diduga terkait dengan berbagai proyek di bawah Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kalimantan Selatan.

Sahbirin kemudian mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait status tersangka yang ditetapkan KPK. Permohonan tersebut didaftarkan pada 10 Oktober 2024 dengan nomor perkara 105/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL.

Ia meminta pengadilan menyatakan bahwa penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK tidak sah karena dianggap melanggar prosedur hukum. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Afrizal Hady, akhirnya menerima gugatan praperadilannya.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | BAGUS PRIBADI | SAVERO ARISTIA WIENANTO | MUTIA YUANTISYA | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |