TEMPO.CO, Jakarta - Terbongkarnya kasus dugaan suap tiga hakim Pengadilan Negeri atau PN Surabaya terkait putusan bebas vonis terhadap Gregorius Ronald Tannur menyeret nama Zarof Ricar. Mantan pegawai Mahkamah Agung (MA) itu diduga menjadi makelar peradilan tingkat kasasi dalam kasus tersebut. Perkara ini mengingatkan skandal serupa yang menjerat eks Sekretaris MA, Nurhadi.
Kasus Nurhadi cukup beken pada rentang 2016 karena upayanya menghilangkan barang bukti dengan membuang duit suap ke dalam toilet. Perkara ini juga menuai perhatian lantaran yang bersangkutan tak kooperatif dan sempat masuk daftar pencarian orang (DPO). Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada penghujung 2019, Nurhadi akhirnya berhasil dibekuk di pertengahan 2020.
Guam ini berawal ketika Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK mengembangkan rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) pada 20 April 2016. Kala itu, lembaga antirasuah menangkap bekas pegawai PT Artha Pratama Anugerah, Doddy Ariyanto Supeno yang diduga menyuap kepada eks Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution sebesar Rp 50 juta. Duit ini diduga untuk mengatur perkara peninjauan kembali (PK)
Menurut laporan Majalah Tempo edisi 2 Mei 2016, awal mula terungkapnya keterlibatan Nurhadi dalam kasus rasuah bermula saat KPK mengendus jejak Sekretaris MA itu sebagai penerima suap dari Doddy untuk mengatur permohonan PK untuk PT Across Asia Limited, anak usaha Lippo Group.
Dua pekan sebelum penangkapan Edy dan Doddy, Doddy diketahui menenteng tas, yang diduga berisi uang, masuk ke rumah Nurhadi. Peristiwa itu terjadi pada 12 April tiga tahun sebelumnya. Temuan itu mendorong KPK turut menggeledah rumah Nurhadi di Jalan Hangkelir V, Jakarta Selatan, sembilan hari kemudian.
Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyaksikan upaya Nurhadi mencoba menghilangkan barang bukti dengan mengguyur duit ke toilet dan membasahkan dokumen daftar perkara yang “dipegang” Nurhadi selama di MA. KPK lalu memanggil Nurhadi sebagai saksi. Pemeriksaan pertama seharusnya dijadwalkan 29 Oktober 2018, namun ia mangkir. Nurhadi baru memenuhi panggilan pada Selasa, 6 November 2018.
Setahun berselang, tepatnya 16 Desember 2019, KPK menetapkan Nurhadi sebagai tersangka perkara suap terkait pengurusan perkara yang dilakukan sekitar tahun 2015–2016. KPK juga menduga Nurhadi terlibat gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajibannya.
Semenjak ditetapkan sebagai tersangka, KPK telah dua kali memanggil Nurhadi yakni pada 9 dan 27 Januari 2020. Namun, yang bersangkutan tidak hadir tanpa alasan. Atas dasar itu, KPK memasukkan Nurhadi dan menantunya, Rezky Hebriyono ke dalam DPO pada 11 Februari 2020. KPK akhirnya menangkap keduanya pada Senin tengah malam, 1 Juni 2020 di sebuah rumah di kawasan Simprug, Jakarta Selatan.
Setelah menggelar serangkaian sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, dalam kasus ini Nurhadi dan Rizki didakwa Jaksa Penuntut Umum atau JPU KPK dengan dua perkara. Dalam dakwaan pertama, mertua dan menantu ini dinilai terbukti menerima uang Rp45,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016 Hiendra Soenjoto terkait pengurusan dua gugatan.
Gugatan pertama adalah perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi yang terletak di wilayah KBN Marunda kav C3-4.3, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.
Gugatan kedua adalah gugatatan Hiendra Soenjto melawan Azhar Umar. Azhar mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Hiendra Soenjoto di PN Jakarta Pusat pada 5 Januari 2015 tentang akta Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT MIT dan perubahan komisaris PT MIT yang didaftarkan pada 13 Februari 2015.
Untuk pengurusan kedua perkara tersebut, Nurhadi dan Rezky menerima uang dari Hiendra seluruhnya sejumlah Rp45,726 miliar melalui 21 kali transfer ke rekening Rezky Herbiyono, Calvin Pratama, Soepriyono Waskito Adi dan Santoso Arif pada periode 2 Juli 2015 – 5 Februari 2016 dengan besaran bervariasi dari Rp21 juta sampai Rp10 miliar.
Sedangkan dalam dakwaan kedua, Nurhadi bersama-sama dengan Rezky juga dinilai terbukti menerima gratifikasi senilai Rp37,287 miliar dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan baik di tingkat pertama, banding, kasasi maupun PK. Total ada tujuh perkara yang dimanipulasi putusan hukumnya oleh Nurhadi setelah digelontori suap.
Suap pertama diberikan oleh Handoko Sutjitro pada 2014 untuk pengurusan perkara No 264/Pdt.P/2015/PN SBY sebanyak Rp2,4 miliar. Kedua, dari Renny Susetyo Wardhani untuk pengurusan perkara PK No.368PK/Pdt/2015 sebesar Rp2,7 miliar. Kemudian suap dari Direktur PT Multi Bangun Sarana Donny Gunawan pada 2015 sebesar Rp8 miliar untuk pengurusan tiga perkara.
Lalu suap dari Freddy Setiawan untuk pengurusan PK No 23 PK/Pdt/2016. Duit panas itu dialirkan antara 2015 hingga 2015 sehingga totalnya mencapai Rp20,5 miliar. Nurhadi juga didakwa menerima suap dari Riadi Waluyo sebesar Rp1,687 miliar untuk pengurusan perkara di Pengadilan Negeri Denpasar No 710/Pdt.G/2015/Pn.Dps.
Nurhadi dan Rezky Herbiyono kemudian divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3 bulan dalam sidang putusan vonis pada Rabu malam, 10 Maret 2021. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menilai keduanya terbukti menerima suap sejumlah Rp35,726 miliar serta gratifikasi dari sejumlah pihak sebesar Rp13,787 miliar.
“Mengadili, menyatakan terdakwa menyatakan terdakwa I Nurhadi dan terdakwa II Rezky Herbiyono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, berkali-kali, dan terus-menerus. Menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan,” kata ketua majelis hakim Saifuddin Zuhri.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang meminta agar Nurhadi divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, sedangkan menantunya, Rezky Herbiyono, dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Nurhadi dan Rezky juga tidak diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp83,013 miliar subsider 2 tahun penjara sebagaimana tuntutan JPU.
“Uang yang diterima terdakwa II adalah uang pribadi yang bukan uang negara sehingga majelis berkesimpulan tidak ada kerugian negara sehingga majelis hakim berpendirian kepada para terdakwa tidak dijatuhi hukuman tambahan sebagaimana tuntutan penuntut umum,” kata anggota majelis hakim Sukartono.
KPK akhirnya resmi menjebloskan mantan Nurhadi dan Rezki ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin pada Kamis, 6 Januari 2022. KPK memasukan mereka ke penjara setelah vonis dinyatakan inkrah. “Jaksa eksekusi Josep Wisnu Sigit telah melaksanakan putusan MA dengan memasukkannya ke lapas,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri, Jumat, 7 Januari 2022.
Masih dalam perkara yang sama, jaksa KPK juga menjebloskan terpidana penyuap Nurhadi, Hiendra Soenjoto ke Lapas Sukamiskin. Hiendra akan mendekam di penjara untuk menjalani vonis 4 tahun 6 bulan, serta denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan.
Kasus Zarof Ricar
Zarof ditangkap setelah jaksa mencokok tiga hakim Pengadilan Negeri atau PN Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan, karena menerima suap Rp 20 miliar. Pemberi uang suap adalah pengacara Ronald, Lisa Rachmat. Melalui Zarof, Lisa hendak menyuap hakim agung agar menolak permohonan kasasi jaksa atas putusan bebas itu.
Besel Rp 5 miliar memang baru sampai di tangan Zarof Ricar sehingga hakim agung tetap menghukum Ronald Tannur lima tahun bui. Namun temuan Majalah Tempo edisi 3 November 2024 mengungkap motif lebih menjijikkan: hukuman tingkat kasasi yang jauh di bawah tuntutan jaksa itu dijatuhkan sekadar untuk memancing pengacara terdakwa agar menggugat putusan ke tingkat PK.
“Jika pancingan berhasil, hakim agung dan para makelar kasus akan menangguk uang suap lebih banyak,” tulis majalah Tempo.
Zarof Ricar diduga menjadi pengepul dan distributor uang suap itu. Temuan uang tunai hampir Rp 1 triliun di rumahnya mengkonfirmasi dugaan bahwa ia telah lama menjadi makelar kasus. Jabatannya strategis mengatur putusan hukum di MA. Sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, ia berwenang memutasi, mendemosi, atau mempromosikan hakim. Dengan posisi itu, Zarof leluasa menyetir hakim mengatur putusan kasasi atau peninjauan kembali sesuai dengan pesanan.
Majalah Tempo edisi 3 November 2024 melaporkan peran Zarof sebenarnya terungkap dari “nyanyian” pengacara Ronald, Lisa Rachmat kepada jaksa penyidik. Zarof ditangkap sehari setelah Lisa dan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Kepada penyidik, Lisa mengaku akan memberikan uang Rp 6 miliar kepada Zarof. Lisa meminta Zarof “mengawal” vonis bebas Ronald di tingkat kasasi.
“Dia (Zarof) berperan sebagai perantara antara pengacara dan hakim kasasi,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MAJALAH TEMPO | ANTARA