BANK INDONESIA atau BI menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG BI) 14-15 Januari 2025 yang menjadi tonggak penting dalam sejarah kebijakan moneter Indonesia.
Selain suku bunga acuan turun menjadi 5,75 persen, berdasarkan keputusan dalam Rapat Dewan Gubernur BI, suku bunga Deposit Facility juga ditentukan menjadi 5,00 persen dan Lending Facility menjadi 6,50 persen. Namun, keputusan ini juga dapat melahirkan tantangan.
Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani memberikan rekomendasi kebijakan lebih komprehensif yang mengintegrasikan kebijakan moneter dan fiskal untuk mengatasi tantangan tersebut. Berikut adalah rekomendasi atas hasil keputusan dalam RDG BI, yaitu:
Sinergi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Menurut Listya, berdasarkan analisis historis, pada 2024, Indonesia menghadapi tantangan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat, meskipun suku bunga rendah. Kebijakan moneter yang bersifat akomodatif tidak cukup mendorong perekonomian, terbukti dari rendahnya proyeksi pertumbuhan kredit (7,5 persen) yang jauh di bawah target BI 10 persen.
"Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada penurunan suku bunga, sektor riil, terutama UMKM, masih menghadapi kendala mengakses pembiayaan," kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Rabu, 15 Januari 2024. Berikut adalah rekomendasi dari kebijakan ini:
- Sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal harus diperkuat dengan pemberian insentif pajak untuk sektor riil dan UMKM, sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Dengan insentif pajak, UMKM lebih mudah berkembang dan mempercepat pemulihan ekonomi.
- Pemerintah memperluas subsidi bunga untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) agar lebih banyak usaha kecil dan menengah memanfaatkan pinjaman murah untuk investasi dan ekspansi usaha, tidak hanya mendorong konsumsi, tetapi juga memperkuat kapasitas produksi.
Diversifikasi Ekonomi dan Pengurangan Ketergantungan pada Komoditas
Dari analisis historis, ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas, seperti minyak sawit, batu bara, dan karet menghadirkan risiko terhadap stabilitas ekonomi, terutama menghadapi ketidakpastian pasar global. Harga komoditas yang fluktuatif memengaruhi pendapatan negara dan kestabilan ekonomi secara keseluruhan.
Berdasarkan data historis, sektor komoditas telah mengalami gejolak yang memengaruhi kestabilan ekonomi jangka panjang. Listya Endang pun memberikan beberapa rekomendasi kebijakan, yaitu:
- Diversifikasi ekonomi harus menjadi prioritas utama mengurangi ketergantungan ekspor komoditas. Salah satu upaya utama adalah mendorong investasi di sektor energi hijau dan teknologi tinggi. Dengan ini, Indonesia dapat menciptakan sektor baru lebih berkelanjutan dan kompetitif menghadapi perubahan ekonomi global.
- Pemerintah mempercepat pengembangan sektor-sektor, seperti teknologi digital dan industri manufaktur bernilai tambah tinggi, yang bisa mendorong ekspor produk berbasis teknologi dan energi terbarukan.
Penguatan Program Digitalisasi dan Inklusi Keuangan
Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu mengatakan. berdasarkan analisis historis, program QRIS yang diluncurkan BI berhasil mendorong inklusi keuangan Indonesia, terutama di sektor UMKM. Meskipun ada kemajuan, akses terhadap teknologi dan infrastruktur digital masih terbatas di beberapa daerah, terutama di luar kota-kota besar. Berikut adalah rekomendasi kebijakannya, yaitu:
- Pemerintah memperluas akses dan infrastruktur digital di seluruh Indonesia, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal dalam hal konektivitas internet. Program digitalisasi ini bisa diperluas ke sektor lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan pertanian, guna mendorong ekonomi berbasis digital.
- Infrastruktur digital lebih merata di seluruh Indonesia harus menjadi prioritas, termasuk pengembangan akses internet cepat dan platform pembayaran digital.
- Penguatan inklusi keuangan melalui QRIS dan teknologi digital lainnya akan mempercepat penciptaan ekosistem ekonomi digital inklusif dan berbasis keberlanjutan serta efisiensi.
Peningkatan Dukungan untuk Pembiayaan Infrastruktur dan Energi Hijau
Berdasarkan analisis historis, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pembiayaan infrastruktur, terutama di sektor energi dan transportasi, yang menghambat potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
"Selain itu, kebijakan moneter lebih longgar, seperti yang dilakukan BI tidak cukup mengatasi keterbatasan pembiayaan jangka panjang sektor strategis," ujar Listya. Adapun, rekomendasi kebijakannya. menurut dia sebagai berikut:
- Pemerintah memperluas pembiayaan sektor energi hijau dan infrastruktur menggunakan model pembiayaan lebih kreatif, seperti Pembiayaan Hijau dan Sukuk Hijau yang memungkinkan sektor swasta terlibat dalam proyek berkelanjutan.
- Insentif pajak untuk investasi di sektor energi terbarukan dan infrastruktur hijau dapat mempercepat transisi menuju ekonomi lebih ramah lingkungan dan meningkatkan ketahanan ekonomi terhadap perubahan iklim.
Kendati demikian, meskipun langkah-langkah tersebut memberikan stabilitas sementara, tidak dapat dianggap sebagai solusi jangka panjang tanpa adanya reformasi struktural mendalam. Keputusan BI menurunkan suku bunga, meskipun memperlihatkan optimisme jangka pendek, dapat berisiko, jika tidak disertai perubahan kebijakan fiskal, struktur ekonomi, dan dukungan terhadap sektor yang dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.
Pertumbuhan Ekonomi Masih Tertahan
Pada 2024, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi masih di bawah 5 persen, lebih rendah dari yang diharapkan. Meskipun suku bunga telah diturunkan, permintaan domestik dan investasi masih belum pulih sepenuhnya.
"Penurunan suku bunga yang diharapkan bisa mendorong sektor riil untuk berinvestasi dan meningkatkan konsumsi, tetapi berdasarkan proyeksi pertumbuhan kredit hanya 7,5 persen pada akhir 2024, ini menunjukkan ketidakmampuan suku bunga rendah memicu percepatan investasi signifikan," kata dia.
Kendala Sektor Riil dan UMKM
Sektor UMKM masih terhambat keterbatasan akses pembiayaan meskipun suku bunga rendah. Data menunjukkan, kredit perbankan UMKM belum menunjukkan pertumbuhan cukup signifikan yang menjadi tanda akses kredit bermasalah lebih mendalam daripada hanya sekadar rendahnya suku bunga. Tanpa subsidi bunga lebih meluas, sektor riil mungkin tidak dapat memanfaatkan kebijakan moneter secara optimal
Menurut Listya, penurunan suku bunga yang dilakukan oleh BI pada dalam RDG BI 14-15 Januari 2025 menunjukkan komitmen kebijakan menjaga stabilitas ekonomi menghadapi ketidakpastian global dan tantangan domestik. Meskipun menciptakan peluang bagi pemulihan ekonomi, prospek jangka panjang Indonesia tetap bergantung pada berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Pilihan Editor: Keputusan Signifikan Hasil Rapat Dewan Gubernur BI yang Menurunkan Suku Bunga Acuan