TEMPO.CO, Jakarta - Menyusul pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta yang menetapkan pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno sebagai peraih suara terbanyak dalam Pilkada Jakarta, tim paslon nomor urut 1 Ridwan Kamil-Suswono, akan layangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau MK.
Lantas apa saja syarat dan ketentuan untuk mengajukan gugatan tersebut?
Koordinator tim pemenangan Ridwan Kamil-Suswono, Ramdan Alamsyah, mengatakan bahwa aduan melalui gugatan ke MK itu dilakukan sebagaimana pemenuhan hak calon kepala daerah di kontestasi Pilkada. “Ini bukan melakukan upaya pencegahan orang menang,” kata Ramdan kepada awak media, di gedung DPD Partai Golkar, Cikini, pada Ahad, 8 Desember 2024.
Berdasarkan pengumuman KPU di hari yang sama, pasangan calon nomor urut satu Ridwan Kamil-Suswono (Rido) menempati posisi kedua dalam rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, dengan mengantongi 1.718.160 suara atau 39,40 persen.
Suara terbanyak berhasil diraih oleh Pramono Anung - Rano Karno dengan mengamankan total 2.183.239 suara atau 50,07 persen yang membuatnya memenangkan kontestasi Pilkada Jakarta 2024 itu karena telah memenuhi syarat 50 persen plus satu untuk menang satu putaran.
Sementara itu, paslon nomor urut 2, Dharma Pongrekun-Kun Wardana meraih 459.230 suara atau 10,53 persen dan berada di posisi ketiga.
Ramdan sendiri tidak menegaskan objek perkara yang akan digugat kepada MK. Ia mengatakan gugatan itu bisa berupa permasalahan dugaan kecurangan Pilkada atau pengajuan pemungutan suara ulang atau (PSU).
Syarat Ketentuan Mengajukan Gugatan Pilkada ke MK
Sebagaimana aturan yang berlaku di Indonesia, setiap calon kepala daerah yang mengikuti Pilkada 2024 dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) apabila tidak setuju dengan hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU.
Adapun aturan mengenai tata beracara dalam perkara perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2024.
Dalam Pasal 4 aturan tersebut, disebutkan bahwa pemohon dalam perkara perselisihan hasil pemilihan meliputi:
a. pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati;
c. pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota; atau
d. pemantau pemilihan dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon.
Dikutip dari Peraturan BPK untuk syarat dan ketentuan sengketa hasil pemilihan umum (pemilu) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota diatur dalam UU No 10 Tahun 2016 yang merupakan Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Dalam Pasal 157 aturan tersebut, disebutkan bahwa peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Selain itu, pengajuan permohonan juga harus dilengkapi alat/dokumen bukti dan Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara. Dan apabila pengajuan permohonan dinyatakan kurang lengkap, maka pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat bersifat final dan mengikat sehingga KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan tersebut.
Lebih lanjut, dalam pasal 158 beleid yang sama juga diatur mengenai sejumlah ketentuan mengenai permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara yang diajukan peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, antara lain:
a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; dan
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.
Alfitria Nefi P turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: DKPP Masih Verifikasi Laporan Kubu Ridwan Kamil Soal Dugaan KPU Tak Profesional