rafysya.me
Khazanah | 2025-11-28 00:42:12
Oleh : rafysya.me - Kolumnis Independen dan Founder Indonesia Ideas Hub (IIH)
Merenungi kekeliruan kecil yang dapat berubah menjadi fitnah besar, saat tabayun tidak lagi menjadi habbit kita.
Ada masa-masa ketika manusia belum memiliki gawai, belum ada algoritma, belum hadir ruang digital untuk "berteriak". Namun manusia memiliki tabiat yang tak berubah sejak diciptakannya : manusia sering terlalu cepat menghakimi, tanpa terlebih dahulu memeriksa, dan terlalu mudah membesar-besarkan hal yang kecil.
Di zaman Rasulullah S.A.W., tabiat ini pernah mengguncang satu kabilah / suku. Dan hari ini, tabiat yang sama mengguncang satu negara, dikarenakan sebuah tumbler. Medianya berbeda, akarnya sama.
Ini tentang diri kita sebagai manusia modern yang mungkin sering lupa menahan diri. Dan tentang bagaimana kisah lama yang diturunkan Allah lewat ayat-ayat dan sirah nabawiyah, yang ternyata sedang "hidup kembali" di timeline kita.
Ketika laporan sepihak hampir memicu peperangan
Rasulullah S.A.W. pernah mengutus Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat dari Bani al Musthaliq. Perintahnya jelas. Tugasnya sederhana. Namun Walid masih membawa luka lama yang belum kunjung sembuh. Di tengah perjalanan, ia teringat konflik masa jahiliyah, ia khawatir bahwa kabilah itu ingin mencelakainya. Kekhawatiran itu menjelma menjadi keyakinan, dan keyakinan itu berubah menjadi laporan.
Walid kembali ke Madinah dan menyampaikan laporan kepada Rasulullah S.A.W. bahwa Bani Musthaliq menolak zakat, bahkan berniat mencelakainya. Laporan tersebut hampir membuat Rasulullah S.A.W. mengirim pasukan. Nyaris terjadi bencana besar hanya karena satu persepsi yang tidak cepat diverifikasi.
Lalu turunlah Surat Al-Hujurat ayat 6:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."
Perintah untuk memeriksa berita, untuk menahan diri dari penghakiman yang didasarkan hanya dari kabar tunggal, serta untuk tidak menimpakan musibah kepada orang lain karena prasangka pribadi.
Setelah kebenaran diperiksa, ternyata Bani Musthaliq sama sekali tidak menolak apa pun. Mereka justru menunggu utusan dengan penuh hormat.
Di titik tersebut, kita dapat mengambil hikmah, bahwa fitnah bisa lahir bukan hanya dari kebencian, namun juga dapat berasal dari rasa khawatir yang tak berdasar. Bahwa "kehancuran sosial" bisa dimulai dari prasangka tanpa tabayun.
Ketika sebuah perhiasan hilang menjelma menjadi badai fitnah besar
Aisyah R.A. pernah kehilangan kalung dalam suatu perjalanan. Lalu Ia kembali mencari kalung tersebut, yang kemudian menyebabkan dirinya tertinggal dari rombongan. Sahabat yang mulia, Safwan bin Muattal, menjumpai Aisyah R.A tertidur seorang diri di padang pasir. Safwan mengenal beliau sebagai "Ummul Mukminin". Kemudian Safwan mengantar Aisyah R.A. kembali kembali ke Madinah.
Namun sesampainya di Madinah, kaum munafik memelintir momen tersebut menjadi fitnah. Kota itu terguncang seketika selama hampir sebulan. Aisyah R.A. pun jatuh sakit karena tekanan psikologis. Rasulullah S.A.W. pun terguncang menghadapi ombak tuduhan warga Madinah dan sekitarnya.
Hingga turunlah Surat An Nur ayat 11-20. Ayat yang merupakan "tamparan keras" dari Allah, sekaligus juga membersihkan nama Aisyah R.A., serta mengutuk keras mereka yang menyebarkan kabar tanpa bukti, yang menjadikan gosip sebagai pedoman moral, dan yang menikmati membesar besarkan aib orang lain.
Kalung hilang menjadi badai. Isyarat sirahnya jelas: benda kecil dapat membuka pintu fitnah besar akibat lisan manusia.
Ketika tumbler hilang, dan algoritma menjadi hakim
Hari ini, berabad abad setelah sirah tersebut, kita menyaksikan peristiwa yang "sama", dengan media yang berbeda
Anita kehilangan sebuah tumbler. Argi, petugas yang berjaga, melakukan kelalaian kecil yang manusiawi. Dalam dunia normal, persoalan ini selesai lewat SOP, minta maaf, ganti rugi, atau penjelasan internal.
Namun Anita memilih jalan pintas "curhat di ruang publik", dengan emosi yang berapi-api dan perspektif satu arah. Kemudian Algoritma "membaca dan mengunyah" amarahnya, dan mengangkatnya ke permukaan. Publik ikut marah. Nama Argi terbakar algoritma dan "FYP" di timeline.
Kantor Anita pun ikut terseret dalam tekanan reputasi. Dua pihak yang awalnya hanya terlibat dalam kejadian kecil, tiba tiba menjadi objek penghakiman massal.
Semestinya ini membuat kita berhenti sejenak dan bertanya kepada hati kita : "Apakah masalah tumbler itu sepadan dengan hukuman sosial sebesar sekarang ini?" Kita seolah sedang menyaksikan "sirah" lama yang berulang.
Algoritma dan "Shadow Judge"
Dahulu, fitnah menyebar dari lewat mulut ke mulut, dari suku ke suku, dari kabilah ke kabilah. Namun saat ini, cukup melalui "jempol ke jempol".
Dulu kerusakan sosial lahir dari persepsi satu orang. Namun saat ini, lahir dari persepsi satu-dua pihak yang diperkuat jutaan interaksi.
Masalahnya bukan di teknologi. Masalahnya di manusia yang menyerahkan begitu saja satu hal paling mahal dalam peradaban ini: "keadilan."
Kita seolah menggantikan proses tabayun dengan proses trending. Kita seolah menggantikan akal sehat dengan notifikasi. Kita seolah menggantikan musyawarah dengan kemarahan kerumunan.
Tak ada yang lebih menakutkan selain publik yang bersatu dalam emosi tanpa pengetahuan. Inilah wajah baru masyarakat digital kita : "kerumunan yang bergerak cepat, menghukum dulu, baru berpikir."
Hikmah yang seharusnya menyentuh kita sebagai bangsa
Saat kita merenungi kembali kisah Walid bin Uqbah, fitnah kalung Aisyah RA, dan drama tumbler Anita–Argi, kita semestinya menyadari bahwa masalah utamanya bukan terletak pada perbedaan zaman. Namun pada kecenderungan manusia: tergesa-gesa, menomorduakan tabayun, dan tidak bersabar dan menahan diri.
Tabayun adalah ajaran agama. Ia adalah disiplin akal sehat. Ia adalah pagar sosial. Ia adalah penyelamat kita dari perbuatan "memecah belah".
Karena kalung pernah hilang. Tumbler juga pernah hilang. Dan di antara dua peristiwa itu, ada satu pesan besar yang tidak berubah:
"Kerusakan paling mahal selalu saja dimulai dari hal paling kecil, ketika manusia menomorduakan tabayun."
Kita boleh kehilangan barang. Namun jangan sampai kita kehilangan kehati-hatian, kebijaksanaan, dan martabat kita sebagai manusia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

2 hours ago
8














































