TEMPO.CO, Jakarta - Sebutan “makelar kasus alias markus” bukan predikat resmi dunia peradilan. Namun, gelar ini belakangan ramai ditenteng sejumlah oknum di Mahkamah Agung atau MA. Sebut saja eks Sekretaris MA periode 2011-2016 Nurhadi dan bekas Sekretaris MA era 2020-2023 Hasbi Hasan. Terkini, julukan itu ancang-ancang disematkan kepada Zarof Ricar, juga bekas pegawai MA.
Beberapa orang mungkin tak tahu apa itu istilah makelar kasus. Makelar adalah orang yang menjadi perantara atau calo untuk suatu perniagaan. Dalam peradilan, makelar kasus merupakan seseorang yang menjadi perantara antara hakim dengan terdakwa. Melalui markus, terdakwa menegosiasi hukuman dengan sejumlah imbalan kepada hakim. Ini adalah tindakan melanggar hukum.
MA menjadi lembaga peradilan tertinggi yang berwenang memutus keputusan hukum pidana dan perdata paling final, yakni kasasi dan peninjauan kembali atau PK. Adanya calo kasus di lembaga tersakti ini jelas menjadi tamparan bagi penegakan hukum di Tanah Air. Bukan tak mungkin ada oknum-oknum yang lain, yang ternyata selama ini mencederai nilai keadilan.
Ganjaran hukum terhadap para calo juga tak setimpal. Vonis-vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan tidak maksimal dan lebih mengedepankan faktor jasa para terdakwa ketimbang dampak yang ditimbulkan. Dalam kasus Nurhadi dan Hasbi Hasan misalnya, hukuman yang ditetapkan dikorting separuh dari usulan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Nurhadi, meskipun bukan wakil Tuhan-sebutan untuk profesi hakim-dia punya kuasa tersembunyi untuk memanipulasi sejumlah kasus saat menjabat. Terungkap pada 2016 dan ditetapkan sebagai tersangka pada 2019, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, akhirnya ditangkap KPK pada Juni 2020 setelah sempat kabur-kaburan.
Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa Nurhadi menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp 83 miliar dari tujuh kasus perdata yang dicalonya. Jaksa Penuntut Umum KPK awalnya menuntut Nurhadi divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Namun pengadilan mengkorting separuhnya, yakni 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan.
Setelah Nurhadi dirumahkan ke Lapas Sukamiskin pada Januari 2022, terbitlah Hasbi Hasan. Sosok yang telah lama berkarier di dunia peradilan itu dicokok KPK pada pertengahan Juli 2023. Pejabat juru catat MA itu diduga melakukan korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi sebesar Rp 11,2 miliar.
Dalam dakwaan, setidaknya ada 5 penerimaan gratifikasi Hasbi sejak Januari 2021 hingga Februari 2022 yang diduga terkait dengan tugas dan wewenang jabatannya selaku Sekretaris MA. Suap tersebut dilaporkan untuk pengurusan perkara di MA terkait Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
Jaksa Penuntut Umum KPK lalu menuntut Hasbi dihukum penjara selama 13 tahun 8 bulan dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan. Namun, Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat hanya mengabulkan penjara untuk Hasbi selama 6 tahun dan denda Rp 1 miliar serta uang pengganti sebesar Rp 3,8 miliar.
Berdasarkan catatan waktu, Zarof Ricar boleh dibilang tak kalah senior menjadi markus, bahkan lebih lihai, dibanding Nurhadi. Antara mencatat, Nurhadi mulai nakal pada 2011 sebelum akhirnya ketahuan pada 2016. Sementara Zarof kepada penyidik Kejaksaan Agung atau Kejagung mengakui sudah menjadi calo hukum sejak 2012 hingga 2022 alias selama satu dekade.
Majalah Tempo edisi 3 November 2024 melaporkan peran Zarof terungkap dari “nyanyian” pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rachmat kepada penyidik Kejagung. Lisa bersama tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya ditangkap KPK pada Oktober lalu atas dugaan suap putusan vonis bebas Ronald terkait penganiayaan dan pembunuhan Dini Sera. Zarof ditangkap selang sehari kemudian.
Lisa kepada penyidik mengaku menyuap Zarof Rp 20 miliar untuk menyogok hakim agung agar menolak permohonan kasasi jaksa atas putusan bebas itu. Namun, yang sampai di tangan Zarof baru sebesar Rp 5 sehingga hakim agung tetap menghukum Ronald lima tahun bui. Temuan Majalah Tempo mengungkap hukuman tingkat kasasi itu dijatuhkan sekadar untuk memancing pengacara terdakwa agar menggugat putusan ke tingkat PK.
“Jika pancingan berhasil, hakim agung dan para makelar kasus akan menangguk uang suap lebih banyak,” tulis majalah Tempo.
Temuan uang tunai hampir Rp 1 triliun di rumah Zarof mengkonfirmasi dugaan bahwa ia telah lama menjadi makelar kasus. Sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan MA, ia berwenang memutasi, mendemosi, atau mempromosikan hakim. Dengan posisi itu, Zarof leluasa menyetir hakim mengatur putusan kasasi atau PK sesuai dengan pesanan.
“Dia (Zarof) berperan sebagai perantara antara pengacara dan hakim kasasi,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar.
Menakar hukuman untuk Zarof Ricar
Penyidik menjerat Zarof Ricar dengan Pasal 5 Ayat 1 juncto Pasal 15 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor. Zarof juga disangkakan Pasal 12B jo Pasal 18 UU tersebut.
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UU Tipikor, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dipidana, yaitu:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.
Adapun Pasal 12 B dalam UU Tipikor menjelaskan, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Zarof berpeluang dijerat pasal pencucian uang
Selain Tipikor, Kejagung mengaku membuka peluang penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap Zarof Ricar. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menyebut saat ini belum menerapkan dugaan TPPU kepada Zarof lantaran masih fokus mengusut rencana pemufakatan jahat di kasus kasasi Ronald.
“Belum disangka TPPU? Iya. Kita masih fokus ke permufakatannya. Kalau memang cukup bukti ke arah itu, kenapa tidak,” ujarnya kepada wartawan, Kamis, 7 November 2024.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | M ROSSENO AJI I MAJALAH TEMPO I ANTARA