TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra bahwa tragedi Mei 1998 bukan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Staf Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jessenia Destarini Asmoro, menyebut pernyataan Yusril itu merupakan upaya untuk memutihkan dan menghapuskan peristiwa 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. “(Dia) mencoba untuk menghilangkan tanggung jawab negara dari penyelesaian dan penuntasan peristiwa tersebut,” ucap Destarini kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Senin, 21 Oktober 2021.
Destarini menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), lembaga yang berwenang untuk menyelidiki dan menyatakan suatu peristiwa itu termasuk pelanggaran HAM yang berat adalah Komnas HAM. Ia juga mengatakan, Komnas HAM sudah menetapkan beberapa peristiwa yang terjadi pada tahun 1998, seperti Kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti, dan kasus penghilangan orang secara paksa sepanjang 1997-1998, sebagai pelanggaran HAM berat.
Menurutnya, sebagai seorang menteri, Yusril tidak memiliki kewenangan untuk menilai sebuah peristiwa masuk ke kategori pelanggaran berat atau ringan. “Beliau tidak punya kapasitas untuk menetapkan apakah suatu peristiwa itu pelanggaran HAM yang berat atau bukan,” ujar Destarini.
Pernyataan itu disampaikan Yusril Ihza Mahendra usai dilantik sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan periode 2024-2029, di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin siang.
“Pelanggaran HAM berat itu kan genosida, ethnic cleansing,” ujar Yusril. “Mungkin terjadi justru pada masa kolonial, pada waktu awal kemerdekaan kita 1960-an.” Menurut dia, tidak semua kejahatan HAM dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Padahal, Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo mengakui ada 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Jokowi mengakui hal itu setelah membaca laporan dari tim yang dibentuknya.
"Saya telah membaca dengan saksama dari tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat," kata Jokowi dalam konferensi pers yang dilihat dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu, 11 Januari 2023. Bahkan, sebagai kepala negara, Jokowi juga menyesalkan adanya peristiwa tersebut.
Jokowi juga menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu pada 26 Agustus 2022. Mahfud Md yang saat itu menjabat Menko Polhukam didapuk menjadi ketua tim pengarah dan Makarim Wibisono menjadi ketua tim pelaksana.
Adapun 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Jokowi, yaitu:
1. Peristiwa 1965-1966
2. Penembakan Misterius 1982-1985
3. Peristiwa Talangsari Lampung 1989
Iklan
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998
5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
7. Peristiwa Trisakti Semanggi 1 & 2 1998-1999
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
9. Peristiwa Simpang KAA di Aceh 1999
10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002
11. Peristiwa Wamena Papua 2003
12. Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003
Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Sandra Dewi Ubah Keterangan Perihal Uang Rp 3,15 Miliar dari Helena Lim di Sidang TPPU Harvey Moeis