TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian di seluruh wilayah Indonesia sepanjang Januari hingga November 2024. Ratusan kasus tersebut, kata Amnesty, menunjukkan bahwa kepolisian tidak menggunakan pendekatan humanis, melainkan pendekatan otoritarian represif.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai maraknya kekerasan oleh polisi sebagai kegagalan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit. “Listyo telah gagal dalam memimpin Polri untuk mengutamakan pendekatan humanis,” kata Usman ketika ditemui usai konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 9 Desember 2024.
Usman berujar, Amnesty tidak melihat banyaknya kasus tersebut sebagai kesalahan satu anggota kepolisian saja. “Kami melihat itu sepenuhnya tanggung jawab pimpinan Polri, dalam hal ini Kapolri,” katanya.
“Tindakan-tindakan kekerasan polisi itu bukanlah tindakan orang per orang di kepolisian yang melakukan tindakan sendiri atau melanggar perintah atasan, melainkan sebuah kebijakan kepolisian,” tutur Usman.
Usman pun menyebut bahwa kritik mengenai maraknya kekerasan itu harus ditujukan kepada Kapolri Listyo Sigit. Menurut dia, Sigit perlu dimintai pertanggungjawaban. Bahkan Usman mengatakan bahwa sudah saatnya jabatan kapolri itu diberikan kepada orang lain. “Kalau perlu Kapolri dimintai tanggung jawab, diganti, dicopot,” ucap Usman. “Ada banyak jenderal lain yang punya integritas, yang jauh lebih punya kemampuan, lebih senior, atau lebih punya pengalaman panjang.”
Usman menyoroti jabatan kapolri yang masih dipegang oleh Listyo Sigit meski presiden sudah berganti. Jabatan Sigit sebagai kapolri di bawah pemerintahan dua presiden yang berbeda, dianggapnya sebagai sebuah keanehan. “Tidak adanya pergantian Kapolri di sebuah pemerintahan yang baru itu keanehan,” ucap Usman. “Di mana-mana, setiap kali pemerintahan baru terbentuk, selalu ganti Kapolri, selalu ganti Panglima TNI, Kepala BIN, Mendagri, dan lain-lain.”
Adapun Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya ada 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian di seluruh wilayah Indonesia sepanjang Januari hingga November 2024.
Usman merincikan, ratusan kekerasan oleh polisi itu terdiri dari 29 kasus pembunuhan di luar hukum, 26 kasus penyiksaan, 21 penangkapan sewenang-wenang, dan 28 peristiwa intimidasi serta kekerasan fisik. Selain itu, ada pula tujuh penggunaan gas air mata dan water cannon yang tidak sesuai prosedur, tiga penahanan incommunicado atau tanpa komunikasi, satu pembubaran diskusi, dan satu kasus penghilangan sementara.
Amnesty utamanya menyoroti dua tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi, yakni pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killings dan penyiksaan. “Kekerasan-kekerasan polisi yang tergolong pelanggaran hak asasi manusia itu terdiri dari, yang pertama adalah pembunuhan di luar hukum, itu ada 29 kasus,” ungkap Usman.
Menurut temuan Amnesty, peristiwa pembunuhan di luar hukum itu telah menewaskan sejumlah 31 orang. Kasus tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Papua sebanyak lima kasus, Sumatera Utara sebanyak empat kasus, lalu Riau tiga kasus. Selain itu, ada juga peristiwa extrajudicial killings di Sumatera Selatan, Aceh, dan Banten, yang masing-masing terdiri dari dua kasus.
Usman mencontohkan kasus pembunuhan di luar hukum yang menyasar seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Semarang, Jawa Tengah, pada November lalu. Diketahui, Gamma Rizkynata Oktafandy ditembak oleh polisi yang sempat mengklaim dirinya mencoba mengamankan tawuran, padahal beberapa warga sekitar menyatakan tidak ada tawuran yang berlangsung di lokasi kejadian. “Jadi betapa terlalu cepat kepolisian mengambil tindakan kekerasan untuk masalah yang sepele, masalah yang seharusnya tidak perlu menggunakan kekerasan,” ucap Usman.
Sementara itu, Amnesty juga mendokumentasikan tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian sepanjang 2024. “Yang kedua adalah penyiksaan, itu juga dilakukan oleh polisi, 26 kasus,” tutur Usman. Amnesty mencatat ada 39 korban akibat penyiksaan oleh aparat. Tindakan kekerasan ini, kata Usman, tersebar di 27 kabupaten atau kota, di 18 provinsi.
Berdasarkan temuan Amnesty, polisi merupakan pelaku penyiksaan yang terbanyak. “Mulai dari penyiksaan terhadap warga yang memprotes sekitar lahan, sampai dengan warga yang sedang menjalankan hak-haknya untuk menyuarakan pendapat-pendapatnya.”
Salah satu peristiwa penyiksaan yang Usman singgung ialah kasus Afif Maulana di Padang, pada Juni lalu. Afif disebut terlibat tawuran sebelum jenazahnya ditemukan di bawah jembatan Kuranji, Sumatera Barat, dengan luka lebam di tubuhnya dan luka di kepalanya.