TEMPO.CO, Jakarta -Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia atau ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) menyerukan kepada pemerintah di seluruh Asia Tenggara untuk mengambil tindakan konkret dan segera untuk melindungi anggota parlemen. Organisasi itu menyebut bahwa anggota parlemen di kawasan Asia Tenggara kerap menghadapi ancaman, pelecehan, dan kekerasan saat bekerja dalam membela hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum.
APHR memperingatkan bahwa meningkatnya serangan terhadap pejabat terpilih, khususnya perempuan, merupakan upaya yang disengaja untuk membungkam perbedaan pendapat dan melestarikan otoritarianisme di wilayah yang bersangkutan. APHR menyebut anggota parlemen perempuan menghadapi ancaman yang unik dan mengerikan.
Anggota Parlemen Malaysia, Syerleena Abdul Rashid, menyoroti bahaya yang dialami perempuan dalam kehidupan publik. Di luar parlemen, ujar Syerleena, dia merasa keamanan dan tujuannya terancam.
"Salah satu momen yang paling mengerikan adalah ketika saya menerima ancaman pembunuhan disertai dengan peluru di kantor saya. Saya takut bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi untuk semua wanita yang berani melangkah ke arena publik,” kata Syerleena, dikutip dari keterangan resmi APHR, Senin, 9 Desember 2024.
Syerleena menuturkan bahwa jalan menuju kesetaraan gender membutuhkan upaya berkelanjutan dari semua sektor masyarakat. "Memperkuat kerangka hukum dan memastikan penegakannya yang efektif merupakan langkah penting, tetapi perubahan budaya dan inisiatif proaktif harus melengkapinya," ujarnya.
Lebih lanjut, anggota Parlemen Filipina, Francisca L. Castro, mengungkap alasan suaranya yang kuat di parlemen karena menyuarakan isu pekerja sektor pendidikan, buruh, petani, perempuan, dan pemuda. Langkah itu, kata dia, membahayakan keselamatan dan keamanannya.
Enam tahun lalu, Castor bercerita bahwa agen pemerintah Rodrigo Duterte menangkap dirinya tanpa surat perintah, termasuk 17 pembela hak asasi manusia lainnya yang menyelamatkan siswa dan guru dari komunitas Lumad, salah satu suku di Filipina.
"Kami ditahan selama 3 hari 2 malam, kemudian didakwa dengan tuduhan palsu penculikan, perdagangan anak, dan pelecehan anak," tuturnya.
Anggota Parlemen Thailand, Chonthicha Jangrew alias Lookkate, juga menyatakan bahwa hukum di negaranya kerap dijadikan senjata oleh negara untuk meneror, melecehkan, dan membungkam warga, termasuk anggota parlemen, yang ingin melindungi demokrasi dan hak asasi manusia.
“Selain pembubaran Partai Move Forward yang saya ikuti, pada Mei 2024, saya dijatuhi hukuman dua tahun penjara berdasarkan Pasal 112 KUHP (lese majeste) atas pidato yang saya sampaikan saat demonstrasi damai pada September 2021 yang mengkritik undang-undang yang ditetapkan pemerintah yang meningkatkan kewenangan Raja Rama X atas layanan kerajaan dan kepemilikan properti publik,” ucap Jangrew.
APHR menyebut kasus-kasus ini mencerminkan pola represif yang meresahkan di Asia Tenggara, di mana pemerintah menggunakan pelecehan, penganiayaan hukum, dan kekerasan untuk membungkam perbedaan pendapat.
Penargetan sistematis anggota parlemen—terutama perempuan—yang menentang korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi manusia merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menekan oposisi demokratis dan pemerintahan otoriter yang mengakar.
Memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional, APHR menekankan perlunya tindakan kolektif yang mendesak untuk melawan tren yang mengkhawatirkan ini.
“Sebagai wakil rakyat yang dipilih, APHR dan anggota parlemennya akan terus bersatu dan teguh dalam perjuangan melawan otoritarianisme yang merongrong kebebasan fundamental, termasuk kebebasan berbicara, berserikat, dan berkumpul,” kata Charles Santiago, Wakil Ketua APHR dan mantan anggota parlemen Malaysia.
Maria Angelina Lopes Sarmento, Anggota Parlemen Timor Leste dan Anggota Dewan APHR menyampaikan penolakan atas serangan sistematis ini terhadap pejabat terpilih di Asia Tenggara, terutama bagi mereka yang menentang korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Dengan tindakan kolektif, tekad yang teguh, dan komitmen terhadap keadilan, kita dapat menciptakan Asia Tenggara tempat demokrasi tumbuh subur dan hak asasi manusia dilindungi,” ujar Mercy Chriesty Barends, Anggota Parlemen Indonesia dan Ketua APHR.