Aturan Main Lelang Barang KPK Rampasan Hasil Korupsi

1 month ago 28

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menggelar lelang barang rampasan sejumlah kasus korupsi dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Sedunia atau Hakordia pada 9-10 Desember mendatang. Lelang tersebut akan dilakukan pada Selasa, 10 Desember 2024, melalui portal.lelang.go.id dan atau lelang.go.id.

Lantas bagaimana aturan lelang barang KPK hasil rampasan kasus korupsi tersebut?

Sebelumnya, Jaksa Eksekutor KPK, Syarkiyah M, mengatakan KPK akan melelang berbagai barang mulai dari tas bermerek internasional, logam mulia, perhiasan, kendaraan roda empat, kendaraan roda dua, dan barang elektronik. Selain itu, KPK juga melelang barang tak bergerak berupa tanah dan bangunan.

Barang-barang tersebut, kata dia, berasal dari 13 perkara tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Mayoritas barang lelangan adalah milik terpidana Rafael Alun Trisambodo, eks pegawai Kementerian Keuangan. Sementara beberapa lainnya berasal dari perkara Abdul Latif dan Eko Darmanto.

“Ada 13 perkara, ada perkara Abdul Latif, Eko Darmanto, dan Rafael Alun,” ujar Syarkiyah di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan KPK, Cawang, Jakarta Timur, Kamis, 5 Desember 2024. “Semua didominasi Rafael Alun. Aset dia semua yang disita, ada mobil dan motor.”

Abdul Latif adalah Bupati Hulu Sungai Tengah yang terjerat kasus suap senilai Rp 3,6 miliar dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah H Damanhuri Barabai pada 2017. Eko Darmanto, mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta, terjerat kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sama seperti Eko, Rafael juga terjerat serupa.

Aturan Pelelangan Barang Rampasan Hasil Korupsi

Dilansir dari laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan atau DJKN Kemenkeu, djkn.kemenkeu.go.id, pelelangan barang rampasan hasil korupsi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2021 tentang Lelang Benda Sitaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam beleid yang mulai berlaku sejak diundangkan pada 12 Oktober 2021 ini, ada beberapa asas mengapa diperlukan adanya pelelangan barang hasil korupsi, baik dari segi hukum atau yuridis, segi filosofis, hingga perspektif psikologis. Berikut asas diberlakukannya pelelangan barang hasil korupsi:

1. Segi yuridis

Adanya kondisi kekosongan hukum yang mengatur tentang Penjualan Lelang Benda Sitaan KPK, dan juga sebagai bentuk pemenuhan amanat Undang-undang atau UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 khususnya pasal 47A.

2. Segi filosofis

Aturan hukum dimaksud diperlukan untuk melengkapi kekosongan hukum peraturan perundang-undangan dalam bidang penegakan hukum untuk mendukung strategi nasional dalam pemberantasan korupsi.

3. Perspektif sosiologis

Adanya kebutuhan yang mendesak dalam upaya menghindari kerusakan atau penurunan nilai ekonomis Benda Sitaan, dan adanya biaya (cost) penyimpanan yang tinggi yang dapat merugikan kepentingan tersangka/terdakwa sendiri ataupun dapat merugikan kepentingan negara.

Diketahui, berdasarkan UU KPK, salah satu tugas pokok lembaga antirasuah adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus tindak pidana korupsi. Selain itu, KPK juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU yang tindak pidana asalnya berupa tindak pidana korupsi.

Pada tahap penyidikan, Penyidik sudah dapat melakukan tindakan penggeledahan dan bahkan “penyitaan” benda-benda dengan memberitahukannya kepada Dewan Pengawas KPK. Tindakan penyitaan tersebut akan mengubah status penguasaan secara hukum suatu benda menjadi berada dalam penguasaan Penyidik KPK.

Benda yang disita Penyidik dimaksud selanjutnya akan dijadikan barang bukti untuk proses pembuktian dalam hukum acara pidana korupsi yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan, bahkan pada tahap persidangan di pengadilan. Barang bukti tersebut ternyata dapat dilelangkan baik setelah inkrah atau bahkan ketika proses hukum masih berjalan.

Hal ini berdasarkan Pasal 47A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, di mana benda hasil sitaan Penyidik dapatlah dijual di muka umum melalui pelelangan, walaupun perkaranya dalam kondisi belum diputus inkrah melainkan masih dalam proses pemidanaan.

Adapun benda sitaan yang dapat dilelang tersebut pada dasarnya meliputi semua jenis benda baik yang berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang secara hukum dan secara sosial ekonomi dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh subjek hukum.

Adapun kriteria barang hasil rampasan kasus korusi yaitu:

1. Lekas rusak, dan /atau

2. Membahayakan, dan /atau

3. Biaya penyimpanannya akan menjadi terlalu tinggi.

Sementara itu, ada pengecualian apabila Benda Sitaan merupakan benda yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan/diperjualbelikan oleh ketentuan, maka tidaklah dapat dilelang.

Kendati pelelangan barang bukti dapat dilakukan selama proses hukum masih berjalan, sebelum perkara pidana korupsi atau TPPU diputus pokok perkaranya, walaupun secara hukum telah disita dan dalam penguasaan KPK, barang sitaan masih merupakan milik yang sah dan merupakan hak kepemilikan dari tersangka atau terdakwa yang harus dihormati.

Oleh karena itu, pelelangan barang rampasan sebisa mungkin terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari tersangka atau kuasanya, atau dalam hal perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan, Lelang Benda Sitaan dimaksud terlebih dahulu wajib mendapatkan izin dari Majelis Hakim yang menyidangkan perkara.

Mutia Yuantisya berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |