TEMPO.CO, Surabaya - Peneliti Direktorat Tambang dan Energi Auriga Nusantara Ki Bagus Hadi Kusuma mengingatkan perguruan tinggi yang bersedia menerima konsesi pengelolaan tambang dan ternyata tidak mampu, izin usaha pertambagan atau IUP-nya rawan disalahgunakan. Sebab Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 telah mengatur empat syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan IUP. Yakni syarat administratif, teknis, finansial dan lingkungan.
“Harusnya sektor tambang bukan menjadi bagian dari badan usaha kampus karena tidak ada kaitannya dengan tri dharma perguruan tinggi, khususnya pengabdian masyarakat,” kata Ki Bagus saat dihubungi Rabu, 5 Januari 2025.
Ki Bagus tak memungkiri ada sejumlah akademikus yang terlibat dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau pun menjadi konsultan perusahaan tambang. Sungguh pun demikian pengelolaan tambang mestinya tidak menjadi core bisnis perguruan tinggi. Kalau pun dalihnya untuk memfasilitasi fakultas dan jurusan yang berkaitan dengan pertambangan, bukan caranya dengan menerima tawaran IUP pemerintah.
Jika rencana pemerintah memberikan IUP pada perguruan tinggi ini jadi terlaksana, menurut Ki Bagus dalih perguruan tinggi menerima dengan alasan memfasilitasi mahasiswanya melakukan riset-riset pertambangan, seharusnya bukan sekaligus kampus menggarap bisnis di sektor tambang tersebut.
Ki Bagus justru khawatir hak untuk mendapatkan IUP bagi kampus malah dimanfaatkan oleh perusahaan pertambangan yang kesulitan memperoleh IUP dari pemerintah. Bisa saja, kata Ki Bagus, perusahaan pertambangan itu punya pikiran daripada susah-susah mengurus IUP dengan mengikuti lelang, lebih praktis tinggal bekerja sama dengan kampus yang mendapatkan konsensi.
“Sehingga perusahaan pertambangan itu bisa menjadi kontraktor atau pun operatornya di lapangan dan nantinya tinggal bagi hasil. Karena di beberapa praktek pertambangan, perusahaan-perusahaan yang melakukan penambangan, pengangkutan, bahkan penyalur tenaga kerjanya itu setelah kami teliti ternyata bukan bagian dari perusahaan pemilik IUP, jadi dipecah-pecah begitu,” tutur Ki Bagus.
Sejumlah perguruan tinggi tidak satu suara dalam menyikapi wacana pemberian konsesi pengelolaan pertambangan. Beberapa menolak, namun sebagian lainnya menerima. Terbaru, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menyatakan sikapnya menerima rencana pemberian konsesi tersebut.
Wakil Rektor IV Bidang Inovasi, Kerja Sama, dan Kealumnian ITS Agus Muhamad Hatta mengklaim opini publik ihwal pertambangan seringkali diasosiasikan dengan perusakan lingkungan dan konflik sosial. Padahal, ujar dia, usulan pengelolaan tambang bagi perguruan tinggi merupakan momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pertambangan agar lebih berwawasan lingkungan dan berkeadilan.
Menurutnya pemberian izin pengelolaan tambang dapat menjadi salah satu upaya untuk mengatasi keterbatasan pendanaan yang dihadapi oleh perguruan tinggi, terutama dalam pengembangan riset dan inovasi. “Adanya kesempatan ini juga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi perguruan tinggi dan masyarakat sekitar,” tutur Agus dalam siaran pers Humas ITS, Selasa, 4 Februari 2025.
ITS sebagai kampus riset dan inovasi, kata Hatta, menyambut baik usulan tersebut. Terlepas akan peluang tersebut, Hatta menyebutkan bahwa masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Seperti misalnya pengusulan regulasi dan perizinan yang kompleks.
Kepala Pusat Studi Pengembangan Industri dan Kebijakan Publik ITS Arman Hakim Nasution menambahkan, selain keunggulan akademik dan penelitian, badan usaha milik perguruan tinggi juga dituntut memiliki kemampuan pengelolaan tambang yang berorientasi bisnis dan industri. “Oleh karena itu, kemitraan strategis dengan pihak yang berpengalaman di bidang pertambangan sangat diperlukan,” tuturnya.
Menurut dosen Departemen Manajemen Bisnis ITS ini menjelaskan bahwa kebutuhan investasi modal yang besar dalam industri pertambangan menuntut badan usaha milik perguruan tinggi untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Beberapa opsi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun kerja sama dengan investor atau perusahaan tambang, tanpa mengorbankan prinsip akademik dan independensi universitas.
Meski demikian Arman menuntut beberapa opsi kebijakan yang dapat dilakukan perguruan tinggi dalam menjalankan IUP untuk memilih tiga opsi skema komersial. Yaitu IUP sepenuhnya dikelola oleh badan usaha milik perguruan tinggi, IUP diberlakukan kerja sama dan dikelola sepenuhnya oleh pihak lain, dan atau IUP dikerjasamakan dengan pihak lain dengan dilakukan pembagian porsi yang disepakati bersama oleh kedua pihak.
Arman menilai kebebasan memilih ini sangat penting artinya karena disesuaikan dengan kesanggupan masing-masing perguruan tinggi dalam hal mengelola risiko bisnis.
Pilihan Editor: Tempo Eksplainer: Pemberian IUP Sebagai Cara Halus Membungkam Kampus?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini