Benarkah Menghancurkan Barang di Ruang Kemarahan Bermanfaat bagi Mental?

1 month ago 24

TEMPO.CO, Jakarta - Ada beragam terapi untuk meluapkan emosi. Salah satunya adalah menghancurkan benda-benda di dalam break room atau ruang kemarahan. Di ruangan tersebut, orang-orang membayar untuk menghancurkan barang-barang. Namun, benarkah menghancurkan benda bermanfaat bagi kesehatan mental? 

Setiap orang memiliki manajemen emosi yang berbeda-beda, terutama saat sedang marah. Ada banyak orang yang melampiaskan kemarahan dengan berteriak atau bahkan hingga menangis, sebagian lainnya mungkin memilih untuk diam hingga emosi itu mereda. 

Namun ada juga sebagian orang yang ketika marah sangat ingin melampiaskan emosi yang meledak-ledak itu termasuk memiliki dorongan untuk memukul sesuatu, tetapi kesulitan untuk menyalurkannya karena akan berdampak buruk pada sekelilingnya. 

Kehadiran ruang kemarahan pun menjadi pilihan untuk melampiaskan amarah. Break room yang dikenal sebagai ruang kemarahan merupakan sebuah tren bisnis unik, di mana orang-orang membayar untuk masuk ke dalam sebuah ruangan dengan tujuan untuk melampiaskan kemarahan. 

Dilansir dari laman verywellmind.com, orang-orang berdiri di ruangan tertutup dan kemudian dapat menghancurkan barang di ruangan tersebut hingga berkeping-keping dengan berbagai alat sambil mengenakan kacamata pelindung.

Kegiatan yang dilakukan selama beberapa menit itu juga tanpa harus merasa bersalah atau bahkan memikirkan bagaimana membersihkannya setelahnya. Oleh sebab itu, ruang kemarahan ini kian populer sebagai terapi rekreasi atau terapi diri dalam beberapa tahun terakhir. 

Benarkan Menghancurkan Benda Dapat Bermanfaat untuk Manajemen Emosi? 

Seperti yang diketahui, kemunculan bisnis ruang kemarahan didasarkan pada  teori katarsis  agresi. Teori ini menyatakan bahwa jika orang mampu melampiaskan rasa frustrasi dan amarahnya, amarah tersebut akan berkurang.

Namun, banyak juga yang meragukan soal manfaat dari penggunaan ruang kemarahan ini. Faktanya, belum banyak penelitian tentang ruang kemarahan dan dampaknya terhadap kesehatan mental. 

Dilansir dari Verywell Mind, dalam sebuah uji coba, para peneliti membuat "ruang hancurkan" virtual yang memungkinkan pasien kanker untuk menghancurkan dan memecahkan benda menggunakan perangkat VR. Hasilnya, terdapat beragam ulasan tentang aktivitas tersebut. 

Sebagian orang memang merasa hal itu menyenangkan, namun sebagian lainnya melaporkan tidak suka mengekspresikan emosi dengan cara yang terlihat dan di depan umum. Salah satu peserta menyarankan bahwa memperbaiki atau menata benda akan lebih menyenangkan daripada merusaknya. 

Temuan tersebut menunjukkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana ruang kemarahan dapat memengaruhi orang, dengan beberapa penilaian meliputi: break room mungkin menyediakan saluran kemarahan jangka pendek, kegiatan menghancurkan barang mendorong ekspresi kemarahan yang tidak sehat, dan ruang kemarahan mungkin menyebabkan lebih banyak kemarahan. 

Dikutip dari Healthline, Sheri Jacobson, direktur klinis dan pendiri Harley Therapy juga pernah menyoroti soal ruang kemarahan. Ia mengatakan, banyak kondisi kesehatan mental yang berasal dari emosi yang tidak diungkapkan. Ia menyarankan agar orang-orang dapat memberikan ruang pada emosi-emosi tersebut dan melepaskannya dengan cara yang aman, sehingga dapat merasakan sedikit kelegaan. 

Meski begitu, ia tetap melihat adanya hal yang perlu diwaspadai dalam fenomena atau tren menggunakan break room atau ruang kemarahan untuk meluapkan emosi dengan menghancurkan benda-benda di dalamnya.

“Melampiaskan amarah bisa membantu; namun, amarah sering kali bersifat keras dan tidak terkendali,” Jacobson memperingatkan. “Apakah tindakan ini memperburuk perasaan Anda tergantung pada seberapa membantu perilaku tersebut dan apakah tindakan tersebut membantu Anda mengatasi dan memahami alasan Anda begitu marah.”

Selain itu, kata dia, kegiatan tersebut hanyalah cara untuk melepaskan tekanan, bukan mencegahnya. “Anda bisa saja memukul dan berteriak sepuasnya, tetapi hal itu tidak akan serta merta mengatasi masalah yang mendasarinya,” imbuh Jacobson.

Sebuah studi tahun 1999 menemukan bahwa melampiaskan amarah dan kemarahan justru dapat memicu perasaan perilaku agresif lebih lanjut. “Beberapa praktik untuk mengelola amarah dan kemarahan dapat menciptakan narasi berulang dan berakhir dengan terus-menerus memunculkan pikiran negatif, seperti 'Saya kehilangan kendali' dan 'Saya tidak bisa mengatasi ini,'” tutur Jacobson. “Apa pun yang dilakukan secara berlebihan juga dapat menjadi masalah, karena hal itu memperparah perasaan kita dan membuat kita merasa lebih buruk.”

Daripada sekadar berusaha mengekspresikan dan mengeluarkan emosi, Jacobson pun mengungkapkan bahwa lebih penting untuk mencari strategi yang memungkinkan orang-orang dapat menyeimbangkan perasaan negatif. “Bagian dari upaya mengelola amarah adalah 'menyeimbangkan pikiran.' Kita cenderung memiliki pikiran negatif dan berulang, jadi kita perlu fokus untuk menemukan keseimbangan,” jelas Jacobson. “Ini bukan berarti bersikap positif secara artifisial, tetapi mengakui dan menerima emosi kita yang seimbang dengan pengalaman kita.”

VERYWELLMIND | HEALTHLINE

Pilihan Editor: Cara Mengendalikan Emosi dengan Teknik Distraksi Menurut Psikiater

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |