Daya Beli dan “Keheningan Harga” di Aceh Tamiang

5 hours ago 6

(Beritadaerah-Kolom) Tak selalu gejolak harga yang menjadi sorotan dalam denyut ekonomi sebuah daerah. Ada kalanya, yang menarik justru adalah keheningan—ketika harga-harga seolah enggan bergerak dan inflasi tampak berjalan di tempat. Itulah yang tampak dari Aceh Tamiang sepanjang tahun 2024. Di wilayah paling timur Provinsi Aceh ini, kehidupan ekonomi masyarakat berjalan dalam laju yang hati-hati, nyaris tanpa riak besar dalam hal perubahan harga.

Sepanjang tahun 2024, Kabupaten Aceh Tamiang mencatat inflasi tahunan yang sangat rendah, yakni hanya sebesar 0,39%. Bahkan dari bulan Januari hingga Desember, indeks harga konsumen bergerak lamban, hanya naik dari 107,19 ke 107,61. Perubahan ini bahkan nyaris tak terasa bagi banyak warga. Tidak ada lonjakan drastis seperti yang mungkin terjadi di kota-kota besar. Tapi apakah ini pertanda baik?

Stabilitas harga memang bisa menjadi berkah, terutama bagi rumah tangga dengan penghasilan tetap. Tapi dalam konteks Aceh Tamiang, cerita tidak sesederhana itu. Di satu sisi, harga yang stabil memberikan ruang bernapas lebih bagi masyarakat untuk mengelola pengeluaran. Di sisi lain, stagnasi inflasi juga bisa mencerminkan daya beli yang lemah—karena permintaan yang rendah berarti pergerakan harga pun enggan naik.

Masyarakat Aceh Tamiang sebagian besar bekerja di sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan informal. Pendapatan harian bergantung pada musim, harga jual hasil panen, serta peluang kerja yang tidak selalu tersedia. Ketika harga barang tidak banyak berubah, tapi pendapatan pun tidak tumbuh, maka situasi yang muncul adalah diam dalam kekurangan—pengeluaran dijaga seminimal mungkin, konsumsi dikurangi, dan aktivitas ekonomi bergerak seadanya.

Aceh Tamiang

Kelompok makanan, minuman, dan tembakau tetap menjadi penyumbang terbesar dalam struktur konsumsi. Indeks harga untuk kelompok ini berada di angka 111,24, cukup tinggi dibanding kelompok lainnya, namun tak mengalami perubahan berarti selama tahun berjalan. Ini bisa dibaca sebagai indikasi bahwa masyarakat tidak mampu mendorong permintaan, bahkan untuk kebutuhan pokok sekalipun.

Lebih menarik lagi adalah data transportasi. Kelompok ini mencatat IHK sebesar 111,23, namun nyaris tak berubah dalam 12 bulan. Padahal, biaya transportasi biasanya menjadi sektor yang sensitif terhadap fluktuasi BBM dan logistik. Ketiadaan kenaikan di sini menunjukkan betapa hati-hatinya masyarakat menggunakan transportasi, membatasi perjalanan, atau menunda kebutuhan berpindah tempat karena alasan penghematan.

Hal serupa terjadi pada kelompok penyediaan makanan dan minuman atau restoran. IHK-nya tercatat hanya 104,24, dengan perubahan yang sangat kecil. Artinya, aktivitas konsumsi di luar rumah sangat terbatas. Masyarakat lebih memilih memasak sendiri, berhemat, dan menghindari pengeluaran tambahan yang dianggap tidak mendesak. Pola ini menjadi cerminan langsung dari tekanan daya beli.

Dalam kondisi seperti ini, strategi bertahan hidup masyarakat menjadi cerita utama. Warga Tamiang mengandalkan kekuatan komunitas, gotong royong, serta praktik hemat yang diwariskan turun-temurun. Belanja dilakukan di pasar tradisional dengan cara tawar-menawar, produksi pangan dilakukan secara mandiri, dan hiburan diganti dengan interaksi sosial berbasis desa dan keluarga.

Namun, kondisi stagnan seperti ini tidak bisa berlangsung terlalu lama. Perekonomian yang sehat butuh sedikit percikan pertumbuhan, butuh daya beli yang mulai bergerak, dan konsumsi yang mendorong produksi lokal. Tanpa itu, ekonomi Aceh Tamiang bisa terjebak dalam lingkaran stagnasi: harga tak naik karena permintaan rendah, permintaan rendah karena pendapatan stagnan, dan seterusnya.

Apakah ini berarti kabar buruk? Tidak sepenuhnya. Justru karena kestabilan harga masih terjaga, Aceh Tamiang memiliki peluang besar untuk mendorong pemulihan ekonomi dari sektor-sektor yang produktif. Pemerintah daerah dapat menjadikan sektor pertanian sebagai tumpuan utama, dengan mendorong hilirisasi produk lokal, pelatihan petani, dan dukungan pemasaran. Program UMKM juga bisa menjadi solusi nyata, karena di tengah stagnasi, peluang usaha mikro yang kreatif tetap memiliki ruang untuk tumbuh.

Peluang tetap ada, meskipun diam sejenak. Dan dari Aceh Tamiang, kita belajar bahwa ekonomi tidak selalu bergerak dalam guncangan besar. Kadang, justru dari keheningan, kita bisa membaca kebutuhan akan perubahan yang lebih bermakna. Bukan sekadar angka inflasi yang tinggi atau rendah, tapi tentang bagaimana masyarakat bertahan, berkembang, dan berdaya dengan cara mereka sendiri.

Namun stagnasi harga tidak serta-merta berarti beban hidup jadi lebih ringan. Karena kenyataannya, yang tetap stagnan bukan cuma inflasi, tapi juga pendapatan. Di banyak desa, harga jual hasil pertanian tidak banyak berubah dibandingkan tahun lalu. Bahkan ketika harga pupuk dan kebutuhan pertanian lainnya perlahan meningkat, petani tetap menjual hasil panen dengan harga yang tak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ini yang membuat margin keuntungan makin tipis, dan kehidupan petani makin terhimpit diam-diam.

Salah satu contoh nyata ada pada komoditas kelapa sawit rakyat dan padi ladang. Di musim panen raya, harga jual yang rendah tak sebanding dengan ongkos produksi. Petani harus mengandalkan gotong royong untuk menekan biaya, atau mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida—yang pada akhirnya justru menurunkan produktivitas lahan. Ini menjadi lingkaran masalah yang sulit diputus tanpa intervensi dari pemerintah daerah.

Sementara itu, sektor jasa informal juga menunjukkan tanda-tanda keletihan. Penjual makanan kaki lima, tukang cukur, hingga pengemudi becak motor tidak melihat peningkatan signifikan dalam jumlah pelanggan atau omzet harian mereka. Beberapa di antaranya bahkan memilih menutup usaha sementara karena pendapatan tidak cukup untuk menutup biaya operasional. Ketika permintaan lemah, sirkulasi uang pun melambat. Dan ketika uang jarang berpindah tangan, denyut ekonomi menjadi lesu.

Anak-anak muda Aceh Tamiang menghadapi situasi yang serba tidak pasti. Mereka tumbuh dalam lingkungan dengan sedikit peluang kerja, pendidikan tinggi yang terbatas, dan minimnya dukungan untuk merintis usaha. Banyak yang akhirnya memilih merantau ke luar daerah, terutama ke Medan atau ke Malaysia, demi mencari nafkah yang lebih layak. Eksodus ini menciptakan kekosongan sumber daya manusia produktif di kampung halaman, dan memperlebar ketergantungan ekonomi lokal pada remitansi (kiriman uang dari luar).

Padahal potensi lokal begitu besar. Sungai Tamiang yang membelah kabupaten ini menawarkan peluang perikanan air tawar, pertanian pesisir, dan pariwisata berbasis alam. Tapi akses ke modal, teknologi, dan pasar masih menjadi hambatan utama. Belum banyak inovasi ekonomi yang bisa memutus kebiasaan lama dan membuka jalan baru. Perekonomian lokal masih bertumpu pada jalur-jalur tradisional yang tidak lagi cukup kuat menopang tuntutan zaman.

Di tengah keterbatasan itu, satu hal yang tetap tumbuh adalah solidaritas sosial. Di desa-desa, warga masih mengandalkan sistem gotong royong untuk membangun rumah, mengelola lahan, atau menggelar pesta keluarga. Di tengah tekanan ekonomi, praktik-praktik solidaritas ini adalah jaring pengaman yang paling nyata. Ketika tidak ada bantuan formal dari pemerintah, tetangga adalah harapan pertama dan terakhir.

Namun, masyarakat Aceh Tamiang tidak tinggal diam. Dalam sunyi yang tertata itu, ada banyak inisiatif kecil yang tumbuh: ibu-ibu yang mulai memasarkan makanan rumahan lewat media sosial, pemuda-pemudi yang membuka jasa sablon digital, hingga petani yang belajar teknik pertanian organik dari komunitas online. Di luar radar kebijakan resmi, kreativitas tetap menyala—walau pelan dan tanpa sorotan lampu.

Pemerintah daerah memiliki tugas besar untuk mengubah stagnasi ini menjadi momentum kebangkitan. Dibutuhkan strategi yang tidak hanya berfokus pada angka pertumbuhan, tapi benar-benar menyentuh akar persoalan masyarakat. Subsidi pertanian, pelatihan wirausaha, pengembangan infrastruktur digital, dan kemudahan akses pasar harus menjadi prioritas. Bukan demi pencitraan statistik, tetapi agar denyut ekonomi benar-benar terasa di dapur setiap keluarga.

Pendidikan juga harus ditempatkan sebagai fondasi perubahan. Anak-anak Aceh Tamiang harus punya akses ke sekolah berkualitas, guru yang berdedikasi, dan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan lokal. Karena tanpa bekal pengetahuan dan keterampilan yang tepat, generasi berikutnya hanya akan mengulangi siklus ekonomi yang sama.

Kesehatan masyarakat pun tak boleh luput dari perhatian. Di tengah keterbatasan pendapatan, banyak keluarga menunda pemeriksaan kesehatan atau pengobatan karena takut biaya. Padahal, masalah gizi anak, penyakit kulit akibat sanitasi buruk, dan gangguan kesehatan mental karena tekanan hidup semakin nyata. Ketahanan ekonomi tidak akan tercapai jika kesehatan terus menjadi beban yang terabaikan.

Jika kita melihat lebih dalam, Aceh Tamiang seperti sedang menunggu percikan api. Ia bukan daerah dengan badai inflasi atau gelombang krisis, tapi lebih seperti danau yang tenang terlalu lama. Ketika terlalu tenang, kehidupan ekonomi bisa menjadi lesu. Tapi di saat yang sama, ketenangan ini bisa jadi ladang yang subur jika dibajak dengan bijak. Potensi yang tersembunyi harus ditarik ke permukaan, dan stagnasi bisa diubah menjadi stabilitas yang produktif.

Bukan tugas yang mudah memang. Tapi dengan kolaborasi semua pihak—pemerintah, masyarakat sipil, pelaku usaha, dan akademisi—Aceh Tamiang bisa mengubah narasi ekonomi diam menjadi cerita pertumbuhan yang pelan tapi pasti. Yang dibutuhkan bukan hanya intervensi besar-besaran, tapi ketekunan kecil yang dilakukan terus-menerus.

Dan mungkin, di tengah semua tantangan ini, semangat warga tetap menjadi modal utama. Mereka yang bangun subuh untuk menyadap karet, ibu-ibu yang menanak nasi dengan bara semangat, dan anak-anak yang berjalan kaki menyusuri jalan desa menuju sekolah. Di sanalah harapan tumbuh, bukan dari hitungan angka, tapi dari wajah-wajah yang tak pernah lelah bermimpi.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |