SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Di tengah kemeriahan peringatan Hari Jadi ke-279 Kabupaten Sragen, sebuah kesenian tradisional kembali menyita perhatian masyarakat: Tari Tayub. Berlokasi di Desa Ngepringan, Kecamatan Jenar, pergelaran ini bukan sekadar hiburan, melainkan pernyataan kuat bahwa budaya lokal masih hidup dan terus berkembang.
Tayub bukanlah pertunjukan biasa. Tarian yang telah melekat erat dengan masyarakat wilayah utara Bengawan Solo ini membawa pesan mendalam tentang kehidupan dan spiritualitas. Dalam setiap gerakan penarinya, atau yang disebut ledhek, serta denting gamelan yang mengiringi, mengalir sebuah perjalanan batin yang sarat makna.
Camat Jenar, David Supriyadi, menjelaskan bahwa kesenian ini sudah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Jawa Tengah, khususnya di Sragen.
“Seringnya di wilayah utara Sungai Bengawan Solo, pentas tayub biasa digelar sebagai ungkapan rasa syukur. Biasanya tayuban setelah panen atau saat pesta pernikahan,” jelas David.
Tari Tayub memang memiliki ciri khas tersendiri dibanding daerah lain. Di Sragen, penari pria hanya terdiri dari lima orang. Satu disebut kunjer—ia yang menerima sampur atau selendang, sementara empat lainnya disebut lareh.
“Tayub di Sragen cuma ada lima penari pria. Satu penari yang menerima sampur (selendang) namanya kunjer. Empat penari lainnya namanya lareh,” jelas David.
Filosofi dalam tarian ini sangat mendalam. Sampur yang diberikan kepada kunjer bukan sekadar properti tari, tetapi memiliki arti hidup yang lurus dan fokus.
“Jadi menunjukkan makna hanggayuh kasampurnaning dumadi yang berarti meraih kesempurnaan hidup,” lanjutnya.
Empat lareh menggambarkan empat sifat manusia yang harus dikendalikan: angkara murka, amarah, iri dengki, dan nafsu birahi. Jika semua itu dapat ditaklukkan, seseorang diyakini dapat meraih kesempurnaan dalam hidup.
Sementara itu, keberadaan waranggono atau ledhek memiliki fungsi sebagai penggoda, penguji kekuatan iman dan karakter seorang pria. Dalam konteks budaya, ledhek merepresentasikan leledo atau godaan duniawi yang harus dihadapi dan dilalui.
“Seorang ledhek memiliki tugas untuk menggoda seorang pria guna menguji kuat tidaknya imannya dengan tarian dan tembang,” terang David.
Kehadiran Bupati Sragen, Sigit Pamungkas, bersama Wakil Bupati Suroto, memberi dukungan nyata terhadap pelestarian warisan budaya ini. Dalam sambutannya, Bupati menyampaikan harapan agar Tayub tak hanya dikenal di Sragen, tetapi bisa menembus panggung budaya internasional.
“Semoga Tayub ini dapat mendunia dan tetap lestari sehingga generasi mendatang dapat merasakan indahnya warisan budaya dari Kecamatan Jenar ini,” harap Bupati.
Sebagai bentuk apresiasi, Wakil Bupati Suroto bahkan turut menyumbangkan suara dengan menyanyikan lagu campursari dan menari bersama para ledhek, menunjukkan kedekatan pemerintah dengan budaya lokal. (*)