SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Guru honorer Hedi Nudiman bersama istri dan ketiga anaknya terancam kehilangan tempat tinggal. Rumah dan tanah seluas 1.474 meter persegi miliknya di Dusun Paten, RT 4 RW 5, Tridadi, Kabupaten Sleman, diduga digelapkan dan kini sertifikatnya telah berpindah kepemilikan.
Hedi dan keluarga sudah berjuang selama 12 tahun untuk mencari keadilan. Segala cara telah ditempuh—menguras tenaga, pikiran, waktu, dan biaya. Namun, hingga kini belum juga membuahkan hasil.
Sebelum Hedi angkat bicara soal dugaan mafia tanah yang dialaminya, kasus serupa lebih dulu mencuat di Bantul dengan korban Mbah Tupon. Kasus itu sempat menyedot perhatian publik dan menjadi sorotan nasional.
Bermula dari Kontrak Rumah
Kisah pilu keluarga Hedi bermula tahun 2011. Saat itu, istrinya, Evi Fatimah, menyewakan rumah warisan orang tuanya kepada seorang perempuan bernama Suharyati dan anaknya, Sujatmoko. Rumah itu rencananya akan dipakai sebagai tempat usaha konveksi.
Evi menyepakati harga sewa sebesar Rp 25 juta untuk lima tahun. Sebagai tanda jadi, ia menerima uang Rp 1 juta. Namun, Suharyati meminta sertifikat tanah sebagai jaminan, dengan alasan agar proses sewa menyewa bisa lebih kuat secara hukum.
Awalnya, Evi tak menaruh curiga. Ia bahkan dibawa ke kantor notaris di wilayah Tirtomartani, Kalasan, untuk menandatangani perjanjian. Ia diberi tahu bahwa itu hanya pengesahan surat sewa-menyewa. Namun, Evi mengaku tak diberi kesempatan membaca isi surat. Dokumen hanya dibacakan sepintas oleh staf notaris, lalu ia diminta menandatanganinya.
“Saya bingung waktu itu. Tapi Bu Suharyati bilang sambil menepuk punggung saya, ‘sertifikatmu tidak saya apa-apakan,’” tutur Evi, Senin (12/5/2025).
Namun, dari Rp 25 juta yang dijanjikan, uang sewa yang diterima Evi hanya Rp 23,5 juta dan dicicil selama lima bulan. Evi sempat mengabaikan kekurangan pembayaran itu, sampai akhirnya kenyataan pahit menampar mereka.
Sertifikat Sudah Berpindah Nama
Pada Mei 2012, petugas dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Berlian Bumi Arta tiba-tiba datang menagih utang. Hedi dan Evi kaget bukan main—ternyata tanah yang menjadi tempat tinggal mereka sudah berganti nama menjadi atas nama Sujatmoko dan diagunkan senilai Rp 300 juta.
“Suami saya langsung cek ke kantor BPN dan ternyata benar, sertifikat sudah beralih ke nama Sujatmoko,” ujar Evi.
Laporan Polisi dan Status Buronan
Tanggal 1 Juni 2012, Hedi dan Evi melapor ke Polresta Sleman atas dugaan penipuan dan penggelapan. Polisi menetapkan dua tersangka: Suharyati dan anaknya, Sujatmoko.
Suharyati dijatuhi hukuman 9 bulan penjara karena dinilai ikut serta dalam tindakan penipuan dan penggelapan. Namun, Sujatmoko hingga kini masih buron dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Upaya Hukum Lainnya
Tak berhenti di jalur pidana, pasangan ini juga menempuh jalur perdata di PN Sleman pada tahun 2015. Mereka menggugat sejumlah pihak—mulai dari notaris, Sujatmoko, BPN, KPKNL hingga petugas BPR Berlian Bumi Arta—atas dasar perbuatan melawan hukum dan ganti rugi.
Namun, perjuangan mereka terhambat. Pengacara yang semula mendampingi tiba-tiba mundur setelah Hedi menolak memberikan salinan putusan pengadilan yang pemberkasannya ternyata keliru. Sejak saat itu, kasusnya seperti jalan di tempat.
Tanah Tetap Dilelang
Penderitaan keluarga ini semakin bertambah. Tanah yang telah diblokir dan masih dalam perkara, justru tetap dilelang dan berpindah tangan kepada Rochmad Zanu Aryanto, yang diduga seorang pejabat.
Parahnya lagi, pada 2020, berkas penyidikan untuk tersangka Sujatmoko dinyatakan hilang. Merasa dipermainkan dan tak mendapatkan keadilan, Hedi pun mengadu ke Propam dan Irwasda Polda DIY, juga melapor ke Jakarta—Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian ATR/BPN, hingga ke Sekretariat Wakil Presiden. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut.
Perjuangan yang Melelahkan
Meski berkali-kali mendapat intimidasi batin dan tekanan mental, Hedi dan Evi tidak menyerah. Mereka juga sempat melapor ke Krimsus Polda DIY terkait dugaan penggunaan dokumen fiktif, karena KTP yang digunakan Suharyati untuk mengajukan pinjaman diduga palsu. Namun, laporan itu dihentikan.
Hedi juga mengadu ke Satgas Mafia Tanah dan dua kali bersurat ke Komisi III DPR RI. Tapi semua itu belum membuahkan hasil.
“Saya bertarung sendiri melawan mafia tanah. Sangat berat. Anak-anak saya sampai terlantar, tidak bisa beli susu. Saya mohon Komisi III DPR RI turun tangan. Saya tertindas,” kata Hedi dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
Penjelasan Polisi
Kasat Reskrim Polresta Sleman, AKP Rizki Adrian, membenarkan bahwa pihaknya menangani kasus penipuan dan penggelapan dalam perkara ini. Dua tersangka telah ditetapkan, satu telah inkrah dan menjalani hukuman, sedangkan satu lagi—berinisial SU—masih dalam pengejaran.
“Untuk pelaku yang DPO, berkas tetap berjalan. Kalau nanti tertangkap, kami akan proses,” ujarnya.
Menurut Rizki, unsur penipuannya sangat jelas, karena satu pelaku sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.