TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) membantah pernyataan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim S. Djojohadikusumo, yang menyebut Just Energy Transition Partnership (JETP) gagal karena tidak ada dana yang cair. IESR menilai pernyataan tersebut tidak akurat, keliru, dan tidak berdasarkan data.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan JETP bertujuan percepat transisi energi di sektor kelistrikan, meningkatkan bauran energi terbarukan, serta menekan emisi karbon hingga 290 juta ton CO2 pada 2030. Skema pendanaan sebesar US$ 20 miliar telah disepakati, dengan rincian US$ 10 miliar dari International Partners Group (IPG) dan US$ 10 miliar dari Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ), yang melibatkan berbagai bank serta lembaga keuangan. “Pendanaan JETP tidak berbentuk bantuan langsung tunai, melainkan disalurkan melalui berbagai skema seperti hibah, bantuan teknis, ekuitas, serta pembiayaan bilateral dan multilateral,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Ahad, 2 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga Desember 2024, negara pendonor dalam IPG telah mengucurkan US$ 230 juta dalam bentuk hibah dan bantuan teknis untuk 44 program. Selain itu, US$ 97 juta untuk 11 program yang masih dalam proses persetujuan. Berikutnya, US$1 miliar telah dialokasikan untuk investasi ekuitas dan pinjaman pada delapan proyek, termasuk pembiayaan PLTP Ijen sebesar US$126 juta dari International Development Finance Corporation (DFC) milik pemerintah Amerika Serikat. Bahkan, total pendanaan sebesar US$5,2-6,1 miliar untuk 19 proyek lain masih dalam tahap persetujuan, serta US$ 2 miliar telah dialokasikan dalam bentuk jaminan proyek dari Inggris dan Amerika Serikat.
Fabby menegaskan, kegagalan JETP tidak dapat disimpulkan hanya karena keluarnya Amerika Serikat dari Persetujuan Paris di bawah pemerintahan Trump. Menurutnya, kesepakatan ini tidak bertumpu pada satu negara saja, tetapi melibatkan berbagai pihak internasional yang tetap berkomitmen pada pendanaan transisi energi di Indonesia.
Terkait pernyataan Hashim soal Presiden Prabowo Subianto tidak berencana memensiunkan PLTU batu bara pada 2040, Fabby mengingatkan, transisi energi adalah bagian dari strategi pembangunan nasional jangka panjang. “Presiden Prabowo sendiri pernah menyatakan keinginannya untuk mengakhiri PLTU sebelum 2040 dan mencapai 100 persen energi terbarukan sebelum 2050 dalam pertemuan APEC dan KTT G20,” ujarnya.
IESR mendesak pemerintah memperkuat komitmen transisi energi dengan beberapa langkah konkret. Pertama, melanjutkan satgas Transisi Energi Nasional untuk mengoordinasikan implementasi percepatan transisi energi. Kedua, mempercepat reformasi kebijakan yang menghambat pengembangan energi terbarukan. Ketiga, menyelaraskan target JETP dengan dokumen perencanaan energi nasional. Keempat, menuntaskan persetujuan pensiun dini PLTU Cirebon I dengan skema energy transition mechanism (ETM) yang tertunda selama tiga tahun.
IESR juga menyoroti pentingnya percepatan transisi energi menekan beban subsidi listrik dan biaya kesehatan akibat polusi PLTU. Berdasarkan kajian IESR, pengakhiran PLTU batu bara lebih awal dapat menghemat hingga USD 34,8 miliar dari subsidi listrik dan USD 61,3 miliar dari biaya kesehatan, yang jauh lebih besar dibandingkan potensi kerugian akibat aset mangkrak dan biaya penghentian pembangkit. “Jika tetap bergantung pada energi fosil, justru itu yang akan menjadi bunuh diri ekonomi. Indonesia akan kehilangan peluang menekan emisi, menurunkan biaya energi, dan menarik investasi asing di sektor manufaktur serta industri pengolahan lanjutan,” kata Fabby.