TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) akan mengalokasikan tanah terlantar seluas 79 ribu hektar untuk program pembangunan 3 juta rumah. Jumlah itu berasal dari 1,3 juta hektar tanah yang saat ini tercatat di kementeriannya.
"Potensi tanah terlantar itu sebanyak 1,3 juta hektare. Ini dari tanah Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pengelolaan (HPL) habis, yang sudah terindikasi terlantar seluas 854.662 hektar, dan ini harus dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat," kata Menteri Agraria, Nusron Wahid saat menjadi pembicara kunci dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Real Estate Indonesia (REI), di The Trans Luxury Hotel, Kota Bandung, seperti dikutip dalam keterangan tertulis, Sabtu, 7 November 2024.
Selain terkait penyediaan tanah, Nusron menyebut kementeriannya telah mengidentifikasi sedikitnya enam aspek di bidang pertanahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan pelaku usaha pembangunan rumah serta permukiman. Identifikasi tersebut, kata dia, dalam rangka mendukung program Pembangunan Tiga Juta Rumah.
"Penyediaan tanah, sertifikasi tanah, PKKPR (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang), LSD (Lahan Sawah yang Dilindungi), Hak Tanggungan, dan Roya, ini yang berhubungan dengan pengembang dan konsumennya langsung," kata dia.
Sehubungan dengan aspek PKKPR, Menteri Nusron menghimbau agar para pelaku usaha dalam sektor properti mengecek Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di masing-masing daerah. Menurut dia, langkah ini agar tidak terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang di setiap wilayah.
"Tolong dicek karena belum semua wilayah ada Rencana Tata Ruang (RTR)-nya. Saat ini kita baru ada 553 RDTR, padahal kita targetnya 2.000. Untuk itu, kami sudah janjian dengan Menteri Dalam Negeri supaya kepala daerah terpilih nanti menyusun RDTR karena itu akan memudahkan dunia usaha," kata Nusron Wahid.
Tak hanya itu, Nusron menyebut aspek pengendalian dalam pemanfaatan tanah dan ruang juga sangat diperlukan. Kementeriannya mencatat bahwa alih fungsi lahan sawah mencapai 100-150 ribu hektare setiap tahun. Menurut dia, fenomena ini tidak sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto terkait swasembada pangan.
Karena itu, Nusron mengatakan kementeriannya sedang menyusun Peraturan Pemerintah tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) untuk mengakomodasi ketersediaan lahan di suatu provinsi. Dia menargetkan PP itu akan selesai di awal 2025.
"Karena itu dalam peraturan ini Bapak boleh mengambil sawah, tapi harus mengganti dengan sawah baru. Kami juga akan menyusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang LP2B nasional, ini untuk mengakomodir jika ketersediaan lahan di suatu provinsi tidak ada maka dapat diusulkan di provinsi lain untuk mengganti lahannya," kata dia.
Sementara itu, Nusron juga menyatakan akan terus mengupayakan transformasi layanan pertanahan, termasuk dalam layanan sertifikasi, Hak Tanggungan, dan Roya. Ia mengklaim akan berkomitmen mencari solusi agar pelayanan Kementerian ATR/BPN tidak ada unsur pungutan liar. “Karena itu harus kita transformasi, tapi saya butuh waktu untuk merapikan layanan-layanan tersebut," kata dia.
Hadir dalam kesempatan ini, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait. Turut mendampingi Menteri ATR/Kepala BPN, Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Jonahar; Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Harison Mocodompis; serta Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat, Yanuar Hikmat Ginanjar.