TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Imran Nating menegaskan bahwa langkah going concern—melanjutkan operasional perusahaan yang telah dinyatakan pailit—tidak melanggar undang-undang. Imran menjelaskan bahwa going concern diatur secara eksplisit dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
“Going concern sama sekali tidak melanggar undang-undang. Itu adalah salah satu opsi yang diberikan kepada kurator untuk menjaga nilai harta pailit,” ujar Imran saat dihubungi, Kamis, 16 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah itu sering kali dianggap sebagai solusi terbaik dalam situasi pailit, terutama untuk perusahaan seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). “Menjual pabrik yang masih beroperasi akan memberikan valuasi lebih tinggi dibandingkan menjual pabrik yang sudah mati. Ini demi menjaga nilai harta pailit agar tidak merosot tajam,” kata dia.
Imran menjelaskan keputusan going concern tidak dapat diambil secara sembarangan. Kurator harus memperoleh izin dari hakim pengawas dan mempertimbangkan apakah operasional perusahaan masih layak untuk dilanjutkan.
“Kurator juga harus berhati-hati. Jika keputusan melanjutkan operasional justru mengakibatkan kerugian, maka kurator dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai Pasal 72 UU Kepailitan,” kata dia.
Keputusan going concern, kata dia, juga mesti diambil berdasarkan kajian dari para ahli yang menilai potensi keuntungan dan risiko operasional perusahaan. Dalam kasus Sritex, langkah going concern dianggap ideal karena dapat menjaga nilai perusahaan dan mencegah kerugian sosial, seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Menurut Imran, going concern memiliki manfaat ganda. Selain menjaga nilai harta perusahaan, langkah ini juga memberikan dampak positif bagi karyawan dan perekonomian lokal. “Jika perusahaan tetap beroperasi, karyawan masih bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan. Hal ini juga membuat calon pembeli lebih tertarik karena perusahaan dalam kondisi aktif, bukan mati total,” ujarnya.
Namun, ia juga menekankan keputusan tersebut tidak mudah. “Dilema kurator sangat besar. Mereka harus memastikan bahwa langkah going concern tidak justru memperburuk kondisi keuangan perusahaan,” katanya.
Dalam konteks hukum, Imran memastikan going concern adalah opsi legal yang diatur undang-undang. Langkah tersebut sah dilakukan selama kurator dapat menunjukkan bahwa keputusan tersebut dapat meningkatkan atau setidaknya menjaga nilai harta pailit.
Sritex saat ini tengah dalam proses hukum kasasi dan kemungkinan Peninjauan Kembali (PK). Keputusan mengenai langkah going concern atau penghentian operasional sepenuhnya berada di tangan kurator, yang harus bertindak dengan kehati-hatian tinggi.
“Kurator adalah pelaksana undang-undang, bukan terikat pada isu atau tekanan publik. Yang terpenting, keputusan mereka harus didasarkan pada kajian matang dan berlandaskan aturan yang berlaku,” kata Imran.
Going concern dalam istilah dunia bisnis dan keuangan yang merujuk pada kemampuan suatu perusahaan untuk melanjutkan operasionalnya dalam jangka panjang tanpa menghadapi kesulitan finansial yang signifikan. Konsep ini mencerminkan keyakinan bahwa perusahaan akan tetap beroperasi di masa depan, menghasilkan pendapatan, dan memenuhi kewajibannya secara normal.