Lagu Band SUKATANI Ditarik, Seperti Apa Kondisi Kebebasan Berkesenian di Indonesia?

17 hours ago 10

TEMPO.CO, Jakarta - Band punk asal Purbalingga, SUKATANI, menjadi sorotan setelah mereka menarik lagu berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’ dari semua platform musik. Keputusan ini diambil setelah dua personel band tersebut, Muhammad Syifa Al Lufti (Alectroguy) dan Novi Citra (Twister Angel), menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri dan institusi Polri melalui video yang diunggah di media sosial pada Kamis, 20 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam video tersebut, Alectroguy menjelaskan bahwa lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ sebenarnya ditujukan untuk mengkritik beberapa petugas kepolisian yang melanggar peraturan. Mereka pun mengimbau para pengguna media sosial yang telah mengunggah atau membagikan lagu tersebut untuk menghapusnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari risiko di kemudian hari yang tidak akan menjadi tanggung jawab band SUKATANI.

Ketua Koalisi Indonesia Irawan Karseno menekankan, kebebasan berekspresi dijamin dengan Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3). Pasal ini berbunyi, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." "Pada prinsipnya, kebebasan berekspresi itu penting untuk menjaga peradaban kita dan mengawal kehidupan bernegara kita agar lebih baik," kata Irawan. Begitu pula saat para seniman melakukan kebebasan berkesenian. 

Ia menjelaskan, rentetan pembungkaman kebebasan berkesenian belakangan kian mencemaskan. Sebelumnya, pementasan teater Wawancara dengan Mulyono oleh Teater Payung Hitam di ISBI Bandung yang seharusnya digelar akhir pekan lalu batal karena ruangan digembok pihak rektorat. "Padahal kritik itu perlu, karya itu ditampilkan dulu tinggal kita nilai baik buruknya setelah dipentaskan. Begitui juga karya SUKATANI," ucapnya. 

Aktivis melakukan aksi demonstrasi mendukung band punk Sukatani dalam aksi Kamisan di depan Mapolrestabes Bandung, Jawa Barat, 20 Februari 2025. Aktivis menilai Sukatani telah menjadi korban represi atas kebebasan berekspresi dan berkesenian. Dugaan represi mengemuka usai personel Sukatani mengumumkan penarikan lagu 'Bayar Bayar Bayar' dari semua platform pemutar musik, termasuk ungkapan permintaan maaf kepada institusi Kepolisian. Tempo/Prima mulia

Ia membagikan buku Panduan Praktis Kebebasan Berkesenian yang sudah disusun tim dari Koalisi Seni Indonesia. Berikut penjabarannya. 

Mengenal Seniman dan Hak-haknya

Berdasarkan buku Panduan Praktis Kebebasan Berkesenian, definisi seniman tidak hanya terbatas pada individu yang menciptakan karya seni, tetapi juga mencakup mereka yang memungkinkan karya seni tersebut dapat dipertunjukkan, dipamerkan, ditonton, didengar, atau dibaca.

Definisi ini mencakup berbagai peran, termasuk:

  • Seniman yang tampil di depan panggung
  • Artisan, perajin, kru film, teknisi panggung, sound engineer, editor
  • Pemikir, peneliti, dan kritikus seni
  • Pekerja di sektor non-seni yang berkaitan dengan seni (misalnya ilustrator di bank)
  • Individu yang bekerja di sektor seni dalam bidang non-artistik (misalnya manajer, administrator seni)

Artinya, seseorang bisa dikategorikan sebagai seniman meskipun tidak bekerja penuh waktu di bidang seni atau jika pekerjaannya berkaitan dengan seni secara tidak langsung.

Dalam buku tersebut dijabarkan bahwa seniman memiliki hak yang wajib dijamin oleh negara, termasuk juga hak semua warga negara untuk mendapatkan akses ke berbagai kesenian. 

Terdapat enam hak dalam kebebasan berkesenian yang ditulis di buku ‘Panduan Praktis Kebebasan Berkesenian’.

1. Hak Kebebasan Berkarya Tanpa Sensor dan Intimidasi

Hak kebebasan berekspresi di Indonesia diatur dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP). 

Pasal 19 DUHAM berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”.

Mengutip dari laman icjr.or.id, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik adalah perjanjian multilateral yang diadopsi dalam Sidang Majelis Umum PBB, tepatnya pada 16 Desember 1966. KIHSP ini menjamin hak-hak sipil dan politik setiap orang seperti, hak kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, hak untuk hidup, hak atas peradilan yang jujur, hingga hak kebebasan berserikat.

2. Hak untuk Mendapat Dukungan, Distribusi, dan Balas Jasa pada Sebuah Karya

Ketentuan ini diatur dalam pasal 19 DUHAM, pasal 19 KIHSP, pasal 23 ayat 3 DUHAM, pasal 7a KIHESB, pasal 27 ayat 2 DUHAM, dan pasal 15 ayat 1c KIHESB. 

Pasal 23 ayat 3 DUHAM berbunyi, “Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya”.

Lalu, pada pasal 27 ayat 2 DUHAM disebutkan bahwa, “Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya”.

Hak-hak yang tercantum dalam aturan tersebut tidak hanya tentang pengupahan, tetapi juga hak mendapatkan perlindungan karya seni serta akses untuk menyebarluaskan sebuah karya. 

3. Hak Kebebasan Berpindah Tempat

Berikutnya, seniman memiliki kebebasan untuk bergerak dan berpindah, baik dalam negeri maupun luar negeri, tanpa hambatan yang tidak sah. Hal ini diatur dalam pasal 13 DUHAM, pasal 13 KIHSP, dan Pasal 12 ayat 3 KIHSP.

Pasal 13 DUHAM berbunyi, “(1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara. (2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya”.

Berdasarkan pasal 13 KIHSP, hak yang didapat mencakup perlindungan terhadap pengusiran, di mana seseorang yang secara sah berada di suatu negara tidak boleh diusir tanpa keputusan hukum yang adil dan kesempatan untuk mengajukan banding.

Hak ini penting bagi seniman yang sering melakukan perjalanan untuk berkarya, menampilkan pameran dan pertunjukan, atau melakukan residensi seni. Pembatasan hak berpindah tempat, seperti larangan bepergian atau deportasi, dapat menghambat kebebasan berkesenian mereka.

4. Hak Kebebasan Berserikat

Hak kebebasan berserikat diatur dalam pasal 20 DUHAM dan pasal 22 KIHSP. 

Pasal 20 DUHAM berbunyi, “(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan. (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan”.

Dalam pasal tersebut, seniman memiliki hak untuk membentuk, bergabung, atau tidak bergabung dalam organisasi atau kelompok seni tanpa paksaan atau intervensi. Negara tidak boleh melarang atau membubarkan organisasi seni tanpa alasan yang sah.

5. Hak atas Perlindungan Sosial dan Ekonomi

Seorang seniman memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan yang setara dengan profesi lainnya, termasuk jaminan sosial dan perlindungan ekonomi. Hal ini diatur dalam pasal 22 DUHAM dan Pasal 9 KIHESB.

Pasal 22 DUHAM berbunyi, “Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara”.

Hak ini penting untuk memastikan seniman mendapatkan perlindungan ekonomi yang layak, akses terhadap jaminan sosial, dan kebijakan yang mendukung keberlanjutan karier mereka.

6. Hak untuk Ikut Serta dalam Kehidupan Kebudayaan

Setiap seniman dan masyarakat umum memiliki hak untuk mengakses, menikmati, serta berkontribusi dalam kehidupan budaya tanpa diskriminasi. Hal ini diatur dalam pasal 27 DUHAM dan pasal 15 ayat 1a KIHESB.

Pasal 27 DUHAM berbunyi, “(1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan. (2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya”.

Kondisi Kebebasan Berkesenian di Indonesia

Meski hak-hak seniman dan semua warga negara sudah diatur dalam hukum yang jelas, nyatanya kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada band Sukatani yang menarik lagunya sebagai ungkapan kritik pada oknum kepolisian. 

Berdasarkan laporan dari buku Panduan Praktis Kebebasan Berkesenian yang diterbitkan oleh Koalisi Seni, ditemukan pelanggaran kebebasan berkesenian di Indonesia dalam rentang waktu 2010-2021. Beberapa pelanggaran yang ditemukan sebagai alasan larangan karya seni, sebagai berikut:

  • LGBTQ: ditemukan 11 kasus
  • Komunisme: ditemukan 17 kasus
  • Pencemaran agama: ditemukan 16 kasus

Dari pelanggaran tersebut, tiga pelaku utama terbanyak berasal dari organisasi kemasyarakatan, polisi, dan pemerintah.  

Dalam buku Panduan Praktis Kebebasan Berkesenian, disebutkan bahwa meskipun kebebasan berkesenian dijamin dalam berbagai peraturan di Indonesia, terdapat beberapa peraturan yang justru menghambat seniman dalam mengekspresikan karya mereka. Berikut adalah beberapa peraturan tersebut:

1. UU Perfilman (UU No. 33/2009)

Aturan ini mengharuskan semua film yang ditayangkan di Indonesia memiliki surat lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF).

Pada kenyataannya, kriteria sensor masih normatif, melarang adegan yang dianggap berlebihan dalam menampilkan NAPZA, seksualitas, penghinaan agama, atau tindakan melawan hukum. Hal ini membatasi kebebasan sineas dalam mengekspresikan realitas sosial dalam film.

2. UU Pornografi (UU No. 44/2008)

Aturan ini digunakan untuk menyensor atau melarang karya seni yang mengandung unsur ketelanjangan atau penggambaran aktivitas seksual, meskipun dalam konteks seni atau budaya. Seniman bisa dikriminalisasi jika karya mereka dianggap melanggar norma moral yang subjektif.

3. UU Penyiaran (UU No. 32/2002)

Adanya UU Penyiaran membuat stasiun TV dan radio menyensor sendiri karya seni yang ditayangkan agar tidak terkena sanksi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Konten yang dianggap sensitif, meskipun relevan secara sosial dan budaya, sering kali tidak dapat ditayangkan.

4. UU Cipta Kerja (UU No. 11/2020)

Aturan ini mempersempit perlindungan bagi pekerja seni, terutama bagi mereka yang bekerja dalam sektor informal. Tidak menyediakan regulasi yang berpihak pada kesejahteraan seniman dalam aspek jaminan ekonomi dan hak pekerja seni lepas (freelancer).

5. Peraturan Turunan UU Hak Cipta (PP No. 56/2021 & Permenkumham 2022)

Memiliki celah besar untuk praktik korupsi dan nepotisme, yang bisa merugikan seniman dalam hal perlindungan hak cipta dan royalti.

6. UU ITE (UU No. 11/2008 & UU No. 19/2016 – Revisi)

Mengandung pasal karet yang dapat digunakan untuk menindak seniman yang mengkritik pemerintah atau mengungkap kasus pelanggaran HAM melalui seni.

Berpotensi mengkriminalisasi seniman yang menyebarkan karya dengan tema kritik sosial dan politik di media digital.

7. Peraturan Menteri Kominfo No. 5/2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

Memberikan kewenangan lebih bagi Kemenkominfo untuk memblokir konten digital, termasuk karya seni, yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Hal ini bisa berpotensi membatasi seni yang dipublikasikan melalui media daring.

8. KUHP Baru (Disahkan 24 November 2022, Berlaku 2025)

Aturan ini mengandung beberapa pasal yang dapat mengancam kebebasan berekspresi dalam seni, seperti:

  • Pasal penghinaan presiden: Mengancam seniman yang membuat karya yang dianggap menghina kepala negara.
  • Pasal penghinaan lembaga negara & pemerintah: Membatasi kritik terhadap kebijakan publik.
  • Pasal penyebaran marxisme & leninisme: Berpotensi mengkriminalisasi karya seni yang mengangkat tema ideologi tertentu.
  • Pasal kesusilaan: Bisa digunakan untuk menyensor karya seni yang mengandung unsur ketelanjangan atau tema seksual.

Pilihan Editor: Viral #Kamibersamasukatani: Band Sukatani Banjir Dukungan Musisi dan Pegiat Seni

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |