Peringatan Hari HAM Sedunia, Imparsial Sebut Kebebasan Beragama di Indonesia Masih Buruk

1 month ago 33

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga pemantau hak asasi manusia Imparsial masih menemukan banyak kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia sepanjang tahun 2024. Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan lembaganya mencatat sedikitnya 23 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun ini.

“Agenda pemajuan dan perlindungan kebebasan beragama atau berkeyakinan hanya retorika,” kata Ardi dalam rangka peringatan Hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10 Desember 2024, dikutip dari keterangan tertulisnya.

Menurut Ardi, temuan pelanggaran kebebasan berkeyakinan yang paling menonjol antara lain pemerintah daerah masih menerbitkan kebijakan dan regulasi yang diskriminatif, penolakan pendirian rumah ibadah, dan larangan beribadah baik individu maupun kelompok. 

Kasus-kasus pelanggaran tersebut terjadi di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Jawa Timur, Aceh, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Selatan, hingga di Papua. Adapun pelaku pelanggaran terdiri dari aktor negara dan aktor non-negara seperti tokoh agama, warga, dan organisasi kemasyarakatan. 

“Sementara itu, Korban pada umumnya adalah anggota kelompok minoritas agama atau keyakinan di daerah tersebut,” ujar Ardi.

Jenis pelanggaran terhadap hak untuk melaksanakan ibadah menjadi yang paling dominan dilanggar, disusul pelanggaran terhadap hak untuk mendirikan rumah ibadah dan hak untuk menyiarkan ajaran agama atau ekspresi keagamaan.

Imparsial menemukan bahwa intoleransi cenderung dibiarkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Ardi mencontohkan peristiwa baru-baru ini terjadi pelarangan kegiatan Jalsah Salanah yang hendak diselenggarakan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Pemerintah setempat dalam hal ini Penjabat Bupati Kuningan mengeluarkan surat larangan kegiatan Jalsah Salanah. Akibatnya, jemaat Ahmadiyah dari berbagai daerah yang hendak mengikuti kegiatan tersebut mengalami persekusi dari pihak kepolisian dan warga setempat. 

“Alih-alih memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama, kepolisian justru menjadi pelaku pelanggaran HAM,” tutur Ardi. 

Tak hanya mengakibatkan jemaah Ahmadiyah tidak bisa beribadah, pelanggaran HAM tersebut juga membuat jemaat Ahmadiyah merugi secara materi karena akses menuju lokasi ditutup. Imparsial menilai, penanganan aparat penegak hukum khususnya kepolisian dalam banyak kasus pelanggaran KBB masih bias favoritisme dan mayoritarianisme. 

“Perspektif yang dimiliki
oleh pemerintah dan aparat penegak hukum belum berpihak kepada korban, dan sikap yang ditunjukkan cenderung permisif terhadap kelompok-kelompok intoleran dan memilih melakukan pembiaran hingga terjadinya kekerasan,” kata Ardi. 

Kepala Seksi Humas Polres Kuningan, Jawa Barat, Ajun Komisaris Mugiyono, membantah personel kepolisian menghalang-halangi jemaat Ahmadiyah yang hendak mengikuti pertemuan tahunan mereka di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jumat pekan lalu. Ia berdalih polisi hanya bertugas mengamankan anggota jemaat Ahmadiyah tersebut.

"Kami tidak memblokade. Kami mengamankan saja sebenarnya karena banyak masyarakat yang mau melakukan sweeping," kata Mugiyono lewat telepon, Senin, 9 Desember 2024. 

Mugiyono juga beralasan bahwa kepolisian tidak mengintimidasi anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia dari luar Kuningan yang hendak masuk ke Desa Manislor.

"Justru kami amankan para tamu, takutnya massa melakukan aksi anarkis. Nah, sebaliknya justru yang sudah ada, kami kawal biar aman," kata dia. 

Menurut Mugiyono, banyak warga sekitar dan organisasi masyarakat menentang kegiatan Ahmadiyah di Manislor tersebut. Sehingga massa dikhawatirkan akan bertindak anarkistis kepada anggota Ahmadiyah yang berkukuh mengikuti pertemuan di Manislor. "Kami mengamankan saja. Tidak ada intimidasi."

Penjelasan polisi berbeda dengan cerita jemaat Ahmadiyah. Jemaat Ahmadiyah dari luar Kuningan bernama Firdaus Mubarik bercerita bahwa puluhan polisi menghadang jemaat yang datang dari luar Pulau Jawa. Sejak Kamis, 5 Desember 2024, jemaat Ahmadiyah dari berbagai wilayah telah berdatangan ke Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Mereka ingin mengikuti pertemuan akbar atau Jalsah Salanah jemaah Ahmadiyah yang rencananya diselenggarakan pada 6-8 Desember 2024.

Ketika sampai di Kuningan sejak Kamis siang, namun ia tidak langsung datang ke lokasi acara. "Saya jalan-jalan dulu ke tempat wisata di sana," ujarnya. "Sekitar jam 17.00 saya baru tiba di Manistor."

Setibanya di lokasi Jalsah Salanah, Firdaus telah melihat kerumunan polisi yang berjaga. Ia beruntung masih bisa masuk ke sekitar lokasi acara. Namun, rombongan jemaat Ahmadiyah dari luar Pulau Jawa yang datang bergelombang pada Kamis malam hingga Jumat dini hari, 6 Desember 2024, dihadang aparat. Polisi tidak mengizinkan mereka masuk ke Desa Manistor.

"Mereka (polisi) mengintimidasi peserta dari luar Pulau Jawa," ujar Firdaus saat bercerita di konferensi pers Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan atau KBB, via zoom meeting, pada Sabtu, 7 Desember 2024. 


Sekitar 6 ribu jemaat Ahmadiyah dari luar Jawa terlantar di pintu masuk Desa Manislor karena polisi sudah memblokadenya. Firdaus menuturkan jemaat Ahmadiyah yang tidak diizinkan masuk ke Manislor, di antaranya berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT).

Padahal mereka telah menempuh perjalan jauh selama dua hari menggunakan kapal laut, kemudian dilanjutkan naik kereta dari Surabaya ke Cirebon, untuk menghadiri pertemuan akbar tersebut. "Sampai di Manislor malah tidak bisa masuk, ditolak oleh polisi," ucapnya. 

Advist Khoirunikmah berkontribusi dalam tulisan ini. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |