JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Rencana pemerintah menaikkan tarif ojek online (ojol) memicu kekhawatiran luas, bukan hanya dari pengemudi, tetapi juga pelaku usaha kecil dan pengguna layanan. Banyak pihak menilai kebijakan ini berpotensi memukul berbagai sektor jika tidak dirumuskan secara matang.
Tarif ojol disebut akan naik sekitar 8 hingga 15 persen. Namun, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menegaskan kebijakan tersebut masih dalam tahap pembahasan. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Aan Suhanan, menyebut pemerintah tengah menyusun kebijakan yang lebih menyeluruh agar tidak hanya berpihak pada satu pihak saja.
“Kami masih mendengarkan masukan dari banyak pihak supaya keputusan yang diambil adil dan berkelanjutan,” ujar Aan, Rabu (2/7/2025).
Sejumlah kalangan mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati karena risiko domino yang bisa timbul dari kebijakan ini. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pemula Sukses Indonesia (ASOPPSI), Rian, menilai kenaikan tarif perlu dibarengi skema yang mempertimbangkan perbedaan wilayah. Ia mengingatkan bahwa biaya hidup di Jakarta tidak sebanding dengan daerah terpencil atau wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
“Kalau kenaikan tarif dipukul rata, daerah dengan daya beli rendah bisa terpukul,” ujar Rian, Kamis (3/7/2025).
Lebih jauh, Rian menyebut pelaku UMKM yang kini banyak memanfaatkan layanan ojol juga berisiko terimbas. Menurutnya, kenaikan tarif tanpa kebijakan pendukung seperti subsidi ongkos kirim atau potongan komisi khusus bisa menggerus daya saing usaha kecil.
“Jangan sampai UMKM yang menopang 97 persen lapangan kerja justru terpuruk karena kebijakan tarif yang tidak mempertimbangkan ekosistem digital secara utuh,” katanya.
Pandangan serupa datang dari Maxim Indonesia. Melalui Government Relation Specialist, Muhammad Rafi Assagaf, Maxim mengingatkan agar pemerintah tidak gegabah. Menurut Rafi, tarif tinggi dapat membuat masyarakat enggan menggunakan layanan transportasi online, yang pada akhirnya berdampak pada pengemudi.
“Kami khawatir permintaan turun, pengemudi justru kehilangan pendapatan. Kenaikan tarif harus dikaji benar-benar, bukan hanya dari sisi biaya operasional,” kata Rafi.
Sementara itu, Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia yang dipimpin Igun Wicaksono menekankan perlunya menurunkan potongan komisi aplikator dari 20 persen menjadi 10 persen sebelum tarif dinaikkan. Tanpa pengurangan potongan, menurut Igun, kenaikan tarif justru bisa membuat pelanggan berpaling ke moda transportasi lain yang lebih murah.
“Kalau tidak diimbangi pengurangan potongan, driver tidak akan merasakan dampak positif. Bahkan orderan bisa makin sepi,” kata Igun.
Ekonom Piter Abdullah juga mengingatkan pemerintah supaya tidak hanya mendengarkan satu pihak. Menurutnya, menaikkan tarif belum tentu menjamin kesejahteraan pengemudi, karena risiko penurunan jumlah penumpang sangat besar.
“Jika tarif mahal, penumpang bisa beralih ke transportasi lain. Pengemudi akhirnya rugi juga,” kata Piter.
Piter menekankan kebijakan seharusnya lahir dari kajian objektif yang mempertimbangkan semua pihak. “Tujuan kenaikan tarif ini harus jelas. Kalau hanya untuk satu pihak tapi memukul pihak lain, itu bukan kebijakan bijak,” tandasnya.
Desakan agar pemerintah membuka ruang dialog lebih luas pun semakin menguat. Rian memastikan pihaknya tengah menghimpun aspirasi pelaku UMKM agar suara mereka didengar sebelum kebijakan resmi diumumkan.
“Kami siap buat position paper resmi supaya kepentingan UMKM juga masuk dalam rumusan kebijakan tarif. Jangan hanya mendengar yang suaranya paling keras,” ujarnya.
Pemerintah sendiri mengaku masih memerlukan waktu untuk merumuskan kebijakan final. Hingga kini, belum ada keputusan resmi kapan tarif baru ojol akan mulai berlaku. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.