TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrur Rozi mengatakan, usulan sertifikasi juru dakwah merupakan wacana lama yang sudah dilakukan oleh MUI dan PBNU. Namun, sifatnya belum menjadi kewajiban.
"Sifatnya masih sukarela dan belum menjadi kewajiban karena belum ada aturan pemerintah," kata Fahrur saat dihubungi, Selasa 10 Desember 2024.
Fahrur mengatakan, sertifikasi penceramah sebetulnya sudah dilakukan di Malaysia. Pendakwah tidak boleh berceramah tanpa ada sertifikat dari pemerintah. "Bahkan, penceramah (bersertifikasi) di Malaysia mendapatkan gaji tetap setiap bulan dari pemerintah," kata Fahrur.
Berbeda dengan Indonesia, sertifikasi pendakwah masih ada polemik berkaitan dengan hak kebebasan berbicara dan berpendapat yang dilindungi UU.
Jangan Jadi Alat Diskriminasi yang Dianggap Berseberangan
Fahrur pun menyarankan sertifikasi dapat dimulai pemerintah untuk para da'i pada lingkungan BUMN dan kemenag.
Sertifikasi nanti pun harus obyektif dan tidak boleh menjadi diskriminasi terhadap da'i yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Sertifikasi sebaiknya dilaksanakan oleh lembaga keagamaan yang kredibel seperti PBNU, MUI dan Muhammadiyah.
Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan Kementerian Agama tengah mengkaji usulan untuk mensertifikasi juru dakwah. Usulan untuk mensertifikasi pendakwah itu mengemuka setelah kontroversi pernyataan Miftah Maulana Habiburahman yang mengolok-olok penjual es teh.
"Sedang kami kaji (sertifikasi pendakwah)," kata Nasaruddin kepada awak media di Istana Merdeka, Senin, 9 Desember 2024.
Nasaruddin tidak menjelaskan lebih rinci mengenai perkembangan kajian itu. Ia hanya mengatakan Kementerian Agama tengah mengkaji usulan tersebut.
Usulan sertifikasi pendakwah datang dari anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Maman Imanul Haq. Ia meminta Kementerian Agama melakukan sertifikasi terhadap juru dakwah untuk memastikan para pendakwah memiliki kapasitas yang memadai dalam menyampaikan nilai-nilai keagamaan.
Usulan Maman ini merupakan respons atas pernyataan pendakwah Miftah Maulana yang mengolok-olok penjual es. Pernyataan Miftah ini menjadi sorotan berbagai kalangan karena statusnya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Miftah lantas menyatakan mundur sebagai pembantu Presiden Prabowo Subianto dalam konferensi pers di kediamannya, Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat pekan lalu. "Keputusan mundur ini saya ambil karena rasa cinta, hormat, dan tanggung jawab saya yang mendalam kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto serta seluruh masyarakat Indonesia," kata Miftah.
Maman Imanul Haq mengatakan kasus Miftah tersebut seharusnya menjadi pembelajaran bagi seluruh pihak untuk menjaga perkataan di hadapan publik. Maman mengatakan pendakwah seharusnya merupakan orang yang paling menguasai sumber-sumber nilai keagamaan, baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun sumber-sumber klasik.
Ia menambahkan, ulama juga dianjurkan memiliki tema-tema pokok keagamaan dalam setiap sumber ceramah. Maman menekankan, pendakwah tidak boleh mengucapkan bahasa kotor maupun candaan yang mengolok-olok orang lain saat berdakwah.
“Tema yang dibawakan juga harus merujuk sumber agama. Misalnya, soal kesederhanaan atau lainnya. Itu semua harus bersumber atas referensi keagamaan seperti di poin pertama,” kata Maman, Rabu, 4 Desember 2024.
Presiden Prabowo Subianto merespons usulan tersebut. Ia mengatakan pemerintah akan melihat terlebih dahulu usulan sertifikasi juru dakwah itu. Prabowo membuka peluang untuk meminta pendapat berbagai pihak mengenai usulan tersebut.
“Mungkin mereka akan kasih masukkan, (seperti) majelis ulama, kalangan dari ormas keagamaan, dan sebagainya,” kata Prabowo di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat pekan lalu.