Tanggapi Gugatan Alexander Marwata, Hakim MK: Pimpinan KPK Harus Bisa Hidup di Tempat Sunyi

2 days ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi Arif Hidayat memberikan komentar soal permohonan uji materi yang diajukan oleh Wakil Pimpinan KPK Alexander Marwata. Arif menyampaikan bahwa peran KPK sebagai lembaga penegak hukum memang berbeda dari lembaga penegak hukum lain.

Gugatan Alexander Marwata soal pasal 36 a UU KPK yang mengatur pimpinan KPK tak boleh bertemu dengan pihak yang berperkara, kata Arif, memang sudah sesuai dengan peran dan kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang extraordinary.

“Karena dia extraordinary, patut diduga atau menurut penalaran yang wajar ada persyaratan yang sangat ketat, maka dibentuk UU pada pasal 36 dan pasal 37 itu,” kata Arif pada sidang pendahuluan Perkara Nomor 158/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi, Rabu, 13 November 2024.

Arif juga mengingatkan bahwa seseorang yang telah menjabat dan memiliki peran di KPK harus bisa hidup dalam kesunyian. Artinya, pimpinan maupun komisioner KPK memang harus menjaga jarak dari pihak yang mungkin saja dapat menggoyahkan independensi KPK.

“KPK, termasuk MK dianggap sebagai silent profession. Hakim, komisioner KPK, harus bisa hidup di tempat yang sunyi, tidak boleh berhubungan dengan siapa pun,” ujar Arif. Hal itu, kata dia, sudah menjadi konsekuensi bagi siapa pun yang menjabat di lingkungan silent profession.

“Mau tidak mau kalau menjabat jabatan yang disebut silent profession atau nobel profession (profesi yang terhormat) itu harus ada persyaratan yang ketat,” kata Arif.

Arif tak menyangkal bahwa sebagai manusia, ada kalanya ia harus berkomunikasi atau bersosialisasi dengan orang lain. Namun, Arif menegaskan bahwa ada batas yang perlu diketahui para pejabat yang memiliki extraordinary function, ia tidak sebebas seperti yang lain.

“Karena manusia itu memang tidak apa-apa (bersosialisasi). Tetapi bisa menimbulkan syak wasangka. Begitu lho. Menghindari itu. Maka disebut silent profession atau nobel profession,” ujar Arif.

Tidak hanya Hakim Konstitusi Arif, Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo juga turut menjelaskan bahwa secara historis, lembaga KPK dibentuk untuk memenuhi kebutuhan yang oleh lembaga konvensional dipandang belum efektif. “Karena itu dibentuk KPK dengan kewenangan-kewenangannya yang lebih ekstra,” jelas Suhartoyo.

Dia mengingatkan juga hadirnya pasal 36 a UU KPK merupakan konsekuensi logis dan yuridis. “Ini kondisi sin equanon, artinya memang itu risiko lembaga yang diberi mandat karena ia di atas penegak hukum lain,” ucap Suhartoyo.

Karena mandat dan tanggung jawab yang besar serta peran dan kewenangannya yang juga besar itulah, Suhartoyo mengatakan KPK diberi syarat yang ketat dan berbeda dari lembaga penegak hukum yang lain.

“Dia bisa menyita, menggeledah tidak harus izin, bisa menyadap itu kan luar biasa. Ini kewenangan yang tidak dimiliki oleh penegak hukum yang lain. Karena itu, penyelenggaranya, komisionernya dan teman-teman aparatnya di KPK juga harus ketat. Kalau tidak ketat, tidak bisa mendukung kewenangan yang sudah diberika secara extraordinary itu,” jelas Suhartoyo.

Sementara itu, Kuasa Hukum Alex, Abdul Hakim, menyebut pasal 36 huruf a berpeluang digunakan untuk mengriminalisasi pimpinan KPK. Pertama, pasal tersebut, tidak memberikan kepastian hukum terhadap Komisioner KPK. Kedua, ada diskrimisasi terhadap instansi KPK di mana hanya lembaga KPK yang dibatasi.

“Sedangkan penegak hukum lain seperti jaksa dan kepolisian tidak batasan apa pun. Kami ingin menyampaikan kalau ingin dibatasi penegak hukum, kepolisian, jaksa, harus dibatasi karena mereka kurang lebih sama tupoksinya dengan KPK,” ucap Abdul.

Pihaknya juga mengklaim Pasal 36 huruf a UU KPK tersebut kontradiktif dengan Pasal 6 tentang tugas dan fungsi anggota KPK. Dalam Pasal 6 UU KPK terdapat enam poin dari a sampai f. Di antaranya:

KPK bertugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi korupsi, koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik, monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

KPK juga melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dan tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

“Saya sebutkan tadi pasal 6 sedangkan pasal 36 a komisioner tidak boleh berhubungan dengan siapa pun dengan alasan apa pun. Secara teori pembatasan berhubungan dengan siapa pun dengan alasan apa pun hanya berlaku pada hakim bukan pada penegak hukum,” kata dia.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |