TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mentargetkan pemasukan pajak 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun, atau naik 13,9 persen dari 2024. Pertumbuhan pajak akan ditopang oleh pertumbuhan penerimaan PPh nonmigas, serta PPN & PPnBM Salah satu yang dikejar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menaikkan pemasukan negara adalah pajak dari ekonomi bawah tanah atau underground economy.
"Pemetaan aktivitas ilegal berbeda dengan ekonomi bawah tanah. Ekonomi bawah tanah sifatnya menghindari pajak, maka pemetaannya akan berbeda. Ini yang sedang dilakukan oleh Pak Wamenkeu Anggito beserta tim pajak, bea cukai, dan PNBP," ujar Sri Mulyani.
Contoh yang saat ini menjadi perhatian adalah praktik penghindaran pajak pada sektor CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit, di mana umumnya praktik yang terjadi berupa manipulasi luas lahan, pelaporan yang tidak sesuai, hingga strategi transfer pricing.Kemenkeu akan mengambil tindakan penegakan hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.
Sementara untuk aktivitas ekonomi bawah tanah yang bersifat kriminal, seperti judi online, akan ditangani melalui kerja sama lintas kementerian/lembaga (K/L), termasuk dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
Kemenkeu akan memetakan tiap aktivitas ilegal maupun ekonomi bawah tanah secara bertahap sambil berkoordinasi dengan kementerian koordinator.
Sri Mulyani juga mengatakan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu berhasil mencegah potensi kerugian negara senilai Rp3,9 triliun dari 31.275 aksi penyelundupan sepanjang Januari hingga November 2024.
Bea Cukai akan terus meningkatkan sinergi dan koordinasi antarinstansi guna meningkatkan keberhasilan dalam penindakan di bidang kepabeanan dan cukai.
PPN 12 PersenMenteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat undang-undang. Saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kamis, Menkeu menjelaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi COVID-19.
"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani.
Dia mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.
"Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN," katanya.
Namun, dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.
"Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," tuturnya.
Kebijakan PPN 12 persen termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Akan tetapi, belakangan terdapat indikasi pelemahan daya beli masyarakat, yang mendorong banyak pihak meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut. Para menteri pada kabinet sebelumnya menyerahkan keputusan rencana kenaikan PPN kepada pemerintahan baru.
Pilihan Editor AJB Bumiputera Kembali Digugat karena Gagal Bayar Klaim Nasabah, Ini Sejarah Panjang Perusahaan Asuransi Itu