TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mencatat sedikitnya telah terjadi 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian di seluruh wilayah Indonesia sepanjang Januari hingga November 2024.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid merincikan ratusan kekerasan oleh polisi itu terdiri dari 29 kasus pembunuhan di luar hukum, 26 kasus penyiksaan, 21 penangkapan sewenang-wenang, dan 28 peristiwa intimidasi serta kekerasan fisik.
Selain itu, ada pula tujuh penggunaan gas air mata dan water cannon yang tidak sesuai prosedur, tiga penahanan incommunicado atau tanpa komunikasi, satu pembubaran diskusi, dan satu kasus penghilangan sementara.
Adapun Amnesty utamanya menyoroti dua tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi, yakni pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killings dan penyiksaan. “Kekerasan-kekerasan polisi yang tergolong pelanggaran hak asasi manusia itu terdiri dari, yang pertama adalah pembunuhan di luar hukum, itu ada 29 kasus,” ujar Usman dalam jumpa pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 9 Desember 2024.
Menurut temuan Amnesty, peristiwa pembunuhan di luar hukum itu telah menewaskan 31 orang. Kasus tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Papua sebanyak lima kasus, Sumatera Utara sebanyak empat kasus, lalu Riau tiga kasus. Selain itu, ada juga peristiwa extrajudicial killings di Sumatera Selatan, Aceh, dan Banten, yang masing-masing terdiri dari dua kasus.
Usman mencontohkan kasus pembunuhan di luar hukum yang menyasar seorang siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) di Semarang, Jawa Tengah, pada November lalu. Diketahui, Gamma Rizkynata Oktafandy ditembak oleh polisi yang sempat mengklaim dirinya mencoba mengamankan tawuran, padahal beberapa warga sekitar menyatakan tidak ada tawuran yang berlangsung di lokasi kejadian.
“Jadi betapa terlalu cepat kepolisian mengambil tindakan kekerasan untuk masalah yang sepele, masalah yang seharusnya tidak perlu menggunakan kekerasan,” ucap Usman.
Sementara itu, Amnesty juga mendokumentasikan tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian sepanjang 2024. “Yang kedua adalah penyiksaan, itu juga dilakukan oleh polisi, 26 kasus,” tutur Usman. Amnesty mencatat ada 39 korban akibat penyiksaan oleh aparat. Tindakan kekerasan ini, kata Usman, tersebar di 27 kabupaten atau kota, di 18 provinsi.
“Seperti juga laporan Komnas HAM, laporan KontraS, dan mungkin laporan lainnya, memperlihatkan polisi menjadi pelaku penyiksaan yang terbanyak,” kata Usman. “Mulai dari penyiksaan terhadap warga yang memprotes sekitar lahan, sampai dengan warga yang sedang menjalankan hak-haknya untuk menyuarakan pendapat-pendapatnya.”
Salah satu peristiwa penyiksaan yang Usman singgung ialah kasus Afif Maulana di Padang, pada Juni lalu. Polisi diduga menangkap Afif, lima anak, dua dewasa lalu menyiksa mereka. Afif disebut terlibat tawuran sebelum jenazahnya ditemukan di bawah jembatan Kuranji, Sumatera Barat, dengan luka lebam di tubuhnya dan luka di kepalanya.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga mendokumentasikan tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan oleh aparat negara, dalam rentang waktu Desember 2023 hingga November 2024.
Dari total 62 kasus penyiksaan sepanjang tahun ini, lebih dari setengahnya dilakukan oleh aparat dari kepolisian. “Dilihat dari institusinya, ada tiga institusi yang kami temukan sebagai pelaku peristiwa penyiksaan, dengan angka tertinggi pelaku dari institusi kepolisian yaitu 38 peristiwa,” kata Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, Jumat, 6 Desember 2024.
Kemudian disusul oleh aparat dari institusi TNI dengan 15 peristiwa. Selain itu, sipir dari lembaga pemasyarakatan (lapas) juga diduga terlibat dalam 9 peristiwa penyiksaan.
Andi merincikan bahwa 62 peristiwa penyiksaan itu menyebabkan 109 korban luka dan 19 korban tewas. Para korban memiliki latar belakang yang berbeda. “Sebanyak 35 korban merupakan tersangka tindak pidana dan 93 korban lainnya merupakan warga sipil biasa,” kata Andi.
Andi menuturkan, motif penyiksaan ini juga berbeda-beda. “Sebanyak 32 peristiwa penyiksaan terjadi dengan motif mengejar pengakuan, dan 30 lainnya terjadi sebagai bentuk penghukuman,” ucap dia.
Penyiksaan dengan motif mengejar pengakuan dinilai bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menegaskan bahwa dalam penyelidikan maupun penyidikan, aparat tidak diperkenankan memaksakan pengakuan keterangan. Sementara itu, menurut KontraS, penyiksaan sebagai bentuk hukuman menunjukkan kultur opresif dalam upaya penegakan hukum.