TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming dijadwalkan dilantik MPR sebagai presiden dan wakil presiden. Perhatian publik tertuju pada pembentukan kabinet Prabowo yang bakal diumumkan Ahad malam ini, 20 Oktober 2024.
Diskusi tentang komposisi dan postur kabinet Prabowo yang diduga bakal jumbo mengingatkan masyarakat akan kabinet gemuk pada masa Orde Lama.
Indonesia pernah mengalami masa-masa dengan kabinet gemuk seperti Kabinet Dwikora II atau Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, namun oleh lawan politik Sukarno, menjuluki dengan sebutan Kabinet Gestapu. Kabinet ini diberi nama Kabinet 100 Menteri.
Sebab jumlah anggotanya yang membengkak hingga lebih dari 100 menteri. Kabinet ini muncul di masa Presiden Sukarno dalam upaya menghadapi krisis sosial, ekonomi, dan keamanan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Kabinet ini terbentuk dalam suasana politik yang memanas. Setelah peristiwa G30S, dari Oktober 1965 hingga Maret 1966, kalangan mahasiswa dan pelajar gencar melakukan demonstrasi untuk menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), membersihkan kabinet dari unsur G30S/PKI, dan menurunkan harga dan perbaiki ekonomi.
Namun, bukannya memenuhi tuntutan demonstran, Sukarno justru mempertahankan beberapa tokoh yang dikenal dekat dengan PKI dalam perombakan kabinet. Di antara mereka adalah Subandrio, Surachman, Oei Tjoe Tat, dan Sudibjo.
Sementara itu, tokoh-tokoh anti-PKI seperti Jenderal A.H. Nasution dan Arudji Kartawinata justru tidak dilibatkan, menambah kekecewaan masyarakat dan Angkatan Bersenjata.
Pelantikan Kabinet
Dilansir dari laman Ensiklopedia Sejarah Indonesia, pada 24 Februari 1966, Sukarno resmi melantik Kabinet Dwikora II. Di hadapan anggota kabinetnya, ia menegaskan bahwa kabinet ini dibentuk untuk memperkuat landasan perjuangan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Namun, pelantikan kabinet tersebut ditentang keras oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang sebelumnya telah menggelar aksi besar-besaran menuntut pembubaran PKI dan penurunan harga kebutuhan pokok.
Gelombang aksi protes itu berujung tragis dengan gugurnya Arief Rahman Hakim, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, yang tertembak oleh pasukan Tjakrabirawa, pengawal presiden.
Iklan
Melihat aksi demonstrasi terus berlanjut, Sukarno merasa bahwa gerakan mahasiswa ini bertujuan untuk menurunkannya dari jabatan. Sebagai respons, ia berupaya membentuk Barisan Sukarno untuk memperkuat dukungan terhadap kepemimpinannya. Namun, ABRI dan Front Pancasila menolak gagasan itu dan justru menyuarakan dukungan pada Tritura sebagai solusi politik.
Berdasarkan data Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, kabinet ini langsung dikomandoi oleh Sukarno. Selain menjadi Presiden, ia juga menjabat sebagai perdana menteri.
Sidang Terakhir
Tak seperti besarnya anggota kabinet, Kabinet 100 Menteri hanya bertahan selama 32 hari. Sidang terakhir kabinet ini berlangsung pada 10-11 Maret 1966 di Istana Negara. Pada malam sebelum sidang, seluruh menteri diminta menginap di guest house Istana. Sidang itu dihadiri oleh tokoh-tokoh seperti Soebandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh, namun Letjen Soeharto, saat itu Panglima Angkatan Darat tidak hadir.
Di tengah berlangsungnya sidang, muncul informasi tentang ancaman keamanan terhadap Sukarno. Presiden pun meninggalkan sidang dan berangkat ke Istana Bogor, di mana ia kemudian menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 alias Supersemar. Surat ini memberi kewenangan penuh kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah demi memulihkan keamanan negara.
Akhir Kabinet 100 Menteri
Setelah mengantongi Supersemar, Soeharto bergerak cepat dengan menangkap beberapa menteri, termasuk Omar Dhani, Subandrio, dan Chaerul Saleh.
Pada 30 Maret 1966, Soeharto merombak kabinet menjadi Kabinet Dwikora III, yang menandai runtuhnya Kabinet 100 Menteri.
KARUNIA PUTRI | ENSIKLOPEDIA SEJARAH INDONESIA | SEKRETARIAT KABINET RI
Pilihan editor: Profil Akmil di Magelang, Bakal Lokasi Pembekalan Lanjutan Jajaran Menteri Kabinet Prabowo