TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis data pantauan kasus femisida sepanjang Oktober 2023 – Oktober 2024. Hasilnya, dalam satu tahun terakhir, terdapat 290 kasus femisida yang terjadi di Indonesia. Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin atau gendernya.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah mengatakan kasus femisida cukup banyak dari tahun ke tahun. Kasus paling banyak pernah terjadi di sepanjang tahun 2021–2022, yakni 307 kasus. Jumlah itu, kata dia, belum sepenuhnya menggambarkan jumlah keseluruhan kasus femisida yang terjadi di Indonesia. Sebab, hingga kini belum ada data ajeg yang dimiliki Komnas Perempuan terkait femisida.
“Sehingga data itu tidak bisa menggambarkan keseluruhan kasus-kasus femisida yang terjadi di Indonesia,” kata Ami, sapaan akrab Siti Aminah, di diskusi ‘Laporan Pemantauan Femisida 2024’ secara daring, Selasa, 10 Desember 2024.
Meningat banyaknya kasus femisida yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, Ami mengatakan pihaknya mendapatkan pertanyaan apakah perlu ada regulasi khusus untuk mengatur tindak pidana femisida. Dia mengatakan sejauh ini Komnas Perempuan belum mendiskusikan hal tersebut.
Bagi Ami, yang saat ini penting untuk didahulukan adalah memperbanyak diskursus mengenai femisida. Terutama penanaman perspektif yang adil gender bagi seluruh aparat penegak hukum yang akan terus menerus berhadapan dan menangani kasus tersebut.
“Kami masih pada tahap membangun diskursus tentang femisida, mengajak semua pihak untuk mencegah femisida, mengajak semua pihak unutk membuat sistem nasional,” ujar Ami. Hal lain yang juga jadi prioritas bagi Komnas Perempuan ialah membangun sistem data tentang femisida. Sebab, sampai saat ini belum ada dokumentasi khusus soal kasus femisida di Indonesia.
Meski belum ada aturan khusus soal femisida, Ami tetap menekankan pada aparat penegak hukum untuk mengaktifkan sensitivitas mereka soal adil gender dan pentingnya mengakomodasi hak korban femisida. Sebab, tindak pidana femisida bukan pembunuhan umum biasa.
Karena itu, dia mendorong pemahaman mengenai adil gender, konsep mengenai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) serta aturan terkait lainnya yang bersinggungan dengan femisida dapat dipahami dengan baik oleh aparat penegak hukum.
Dia juga menjelaskan bahwa di dalam UU TPKS sebenarnya ada pasal yang menyebut bahwa korban kekerasan seksual yang akhirnya mengalami kematian, hukuman bagi pelaku ditambah sepertiga. “Begitu juga kalau korban semula dapat KDRT, dia kena Pasal 44 ayat 3 yang menyebabkan kematian,” ujarnya.
Sensitivitas yang adil gender dalam penegakan hukum, kata Ami, dapat menggali pengalaman buruk yang harus diterima perempuan sebelum ia kehilangan nyawa. Pengalaman itu harus diperhitungkan dan menjadi pertimbangan bagi aparat penegak hukum untuk memperberat hukuman pelaku. Dia berharap seluruh pihak dapat bersama-sama mengedukasi aparat penegak hukum soal sensitivitas adil gender itu.
“Sebenarnya relasi kuasa, kerugian, itu harus digali, termasuk kemungkinan diberikan restitusi atau tidak, juga kalau tidak diajukan restitusi diajukan ganti kerugian untuk keluarga korban. Itu sudah ada. Cuma perspektifnya itu masih hanya membatasi, ini digunakan untuk KDRT saja, untuk TPKS atau untuk kekerasan terhadap anak saja,” kata Ami.
Semestinya, aparat penegak hukum yang memiliki perspektif adil gender bisa memanfaatkan undang-undang yang sudah ada untuk memberi rasa keadilan bagi korban. “Korban di sini bisa orang-orang yang ditinggal, anak atau keluarga. Perlu diingat korban femisida tak hanya perempuan yang meninggal karena dibunuh, tetapi orang-orang dekat yang bergantung pada korban juga bagian dari korban,” ujar Ami.