TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Filantropi Indonesia, Dompet Dhuafa, Belantara Foundation, dan organisasi filantropi di Indonesia yang tergabung dalam Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi (KFLHK) berkumpul untuk membahas perubahan iklim dan dampaknya bagi Indonesia dalam sebuah simposium pada Kamis, 21 November 2024. Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim yang dianggap mendesak tersebut mengangkat tajuk 'Mengakselerasi Transisi Hijau: Peran Strategis Lembaga Filantropi di Indonesia'.
Hadir sebagai pembicara utama adalah Bambang Brodjonegoro, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) 2019-2021. Dia menyampaikan bahwa pendanaan perubahan iklim kini semakin mengarah pada konsep keuangan campuran atau blended finance. Bambang juga mengungkap bahwa transisi energi, sebagai salah satu strategi mitigasi utama, menghadapi dua tantangan besar: tingginya biaya investasi awal dan biaya modal.
Di Indonesia, dia mencontohkan, emisi gas rumah kaca terus menunjukkan tren peningkatan sejak 2010 hingga 2022, sementara biaya investasi untuk energi terbarukan tetap tinggi. Tantangan ini, menurutnya, menuntut adaptasi dari pihak terkait, termasuk PLN yang perlu menyesuaikan model pembiayaan agar sejalan dengan transisi energi.
“Di sinilah peran lembaga filantropi menjadi sangat strategis, yaitu memobilisasi pendanaan swasta dengan skema yang tidak terlalu rumit, seperti hibah, pendanaan konvensional, atau jaminan yang difasilitasi oleh lembaga khusus maupun lembaga internasional seperti World Bank,” kata Bambang.
Filantropi juga disebutnya berperan penting dalam pendanaan adaptasi perubahan iklim yang hingga kini masih jauh di bawah kebutuhan karena tingkat pengembalian yang rendah. Dalam harapan Bambang, dengan adanya dukungan yang kuat dari filantropi, pendanaan iklim tidak hanya berfokus pada mitigasi tetapi juga mendukung adaptasi, rehabilitasi, dan pemulihan, tanpa mengganggu keseimbangan komunitas dan ekosistem yang ada
“Filantropi diharapkan dapat melengkapi pendanaan dari sektor swasta dan publik untuk mencegah dampak yang lebih besar, termasuk hilangnya lahan, jiwa, dan aset lainnya akibat bencana terkait iklim," katanya sambil menambahkan, "Loss and damage fund menjadi penting untuk mendukung komunitas yang tidak dapat menghindari dampak perubahan iklim.”
Direktur Eksekutif Perhimpunan Filantropi Indonesia, Gusman Yahya, berharap simposium yang baru digelar tersebut dapat menjadi wadah untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik terbaik dalam upaya mendorong aksi kolektif yang lebih nyata. Gusman menekankan aksi kolektif penting menjadi motor penggerak antar-pemangku kepentingan untuk saling melengkapi sumber daya masing-masing dan mengakselerasi pencapaian SDGs serta agenda iklim.
“Inisiatif kemitraan multi-pihak tidak harus dilakukan dengan menciptakan inisiatif baru, tapi diharapkan untuk dapat lebih mengoptimalkan platform-platform kerja sama dan jaringan yang sudah ada, dengan lebih menguatkan koordinasi dan tata kelola antar-pemangku kepentingan baik pemerintah, pihak swasta, dan filantropi,” tutur Gusman.
Arif Rahmadi Haryono, GM Program Dompet Dhuafa, menyatakan pihaknya terus mendorong beragam program dalam adaptasi perubahan iklim. Mulai dari pendekatan pelestarian lingkungan secara langsung, pengembangan wilayah ekowisata, pengembangan kantor ramah lingkungan, sampai mengajak beragam elemen masyarakat dalam kesadaran dan partisipasi upaya adaptasi perubahan iklim.
“Perubahan iklim harus kita sikapi secara serius, bergerak dari beragam lembaga filantropi menjadi acuan bersama dalam mitigasi perubahan iklim," ujar Arif.
Rangkaian sesi Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim diinisasi oleh KFLHK turut dihadiri narasumber di bidang lingkungan dan iklim. Beberapa di antaranya adalah Country Lead Indonesia Climateworks Center, Arif Rahmadi Haryono, dan Direktur Advokasi Kebijakan Indonesia Research Institute for Decarbonization Henriette Imelda.