TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyiapkan aturan baru terkait batas usia dan pendapatan pengguna layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater. Langkah berani OJK tersebut ditujukan untuk mengatasi fenomena jebakan utang yang mengganggu perekonomian masyarakat.
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menjelaskan bahwa salah satu tujuan diberlakukannya aturan tersebut adalah untuk mengantisipasi risiko jebakan utang. Skema tersebut membantu menguatkan perlindungan terhadap konsumen dan masyarakat sehingga harapannya dapat menguatkan industri perusahaan pembiayaan (PP) paylater.
“Mengantisipasi potensi terjadinya jebakan utang (debt trap) bagi pengguna PP BNPL yang tidak memiliki literasi keuangan yang cukup memadai,” ungkap Ismail dalam keterangan tertulis pada Rabu, 1 Januari 2025.
Aturan pokok baru OJK mencakup pembiayaan perusahaan pembiayaan paylater. OJK membatasi nasabah pengguna paylater harus berusia di atas 18 tahun atau sudah menikah dan memiliki pendapatan bulanan minimal sebesar Rp3 juta. Kewajiban pemenuhan kriteria nasabah tersebut efektif berlaku terhadap akuisisi debitur baru, termasuk bagi perpanjangan pembiayaan paylater, paling lambat 1 Januari 2027.
OJK ingin perusahaan pembiayaan paylater menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada nasabah mengenai perlunya untuk waspada dalam menggunakan paylater. “Termasuk pencatatan transaksi debitur di dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK),” kata Ismail.
OJK dapat melakukan peninjauan kembali peraturan tersebut dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, stabilitas sistem keuangan, dan perkembangan industri paylater.
Kredivo sebagai salah satu lembaga penyedia paylater mendukung peraturan baru OJK. “Kami mendukung dan memang sudah menerapkan itu sejak awal beroperasi,” ujar SVP, Marketing, and Communications Kredivo Indina Andamari.
Krevido ikut memandang fenomena peningkatan penggunaan paylater menyebabkan maraknya masyarakat terlilit utang. Pengguna paylater banyak mengalami kredit macet, utamanya dari rentang usia 15 hingga 35 tahun. "Jadi, bisa dibilang yang muda porsinya lebih mendominasi," katanya.
Tingkat kredit macet atau non performing financing (NPF) pada 2024 berada di bawah 5 persen. Untungnya, angka tersebut masih dalam batas aman menurut ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Peningkatan Penggunaan Paylater
Maraknya penggunaan gunaan paylater didorong oleh tingginya kebutuhan pembiayaan masyarakat di masa sulit. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengungkapkan bahwa penggunaan paylater meningkatkan adanya risiko signifikan terkait potensi gagal bayar.
“Kondisi ekonomi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Daya beli masyarakat menurun akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masif. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat tetap atau bahkan meningkat,” ungkap Huda saat dihubungi pada Jumat, 17 Januari 2025.
Tidak dapat disangkal bahwa paylater dianggap menjadi solusi yang lebih baik untuk berutang dibandingkan menggunakan jasa rentenir. Generasi muda lebih memilih menggunakan layanan teknologi seperti paylater dibandingkan kartu kredit yang rumit dan lama.
“Masyarakat muda kita malas berhadapan dengan proses yang rumit seperti kartu kredit. Mereka juga cenderung mengandalkan gawai untuk transaksi,” ujarnya. Akibatnya, lebih banyak anak muda yang terjebak lingkaran utang. Dengan demikian, penting menyusun regulasi dan pengawasan ketat mengenai penyediaan paylater untuk memastikan pengguna tidak terjebak utang.
Menurut data dari OJK, piutang pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan mengalami pertumbuhan signifikan hingga Oktober 2024 bila dibanding tahun lalu. Total pembiayaan tersebut mencapai Rp 8,41 triliun, yakni meningkat Rp 3,27 triliun atau tumbuh sebesar 63,89 persen secara tahunan year on year (yoy).
Ilona Estherina, Dede Leni Mardianti, dan Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Waspada Tren Penggunaan Paylater di Kalangan Generasi Muda Bisa Sebabkan Kredit Macet