Tiga Penyebab Jatuhnya Presiden Suriah, Tak Berdaya Hadapi Serangan Kilat Oposisi

1 month ago 34

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Suriah, Bashar Al Assad, dilengserkan oleh pasukan pemberontak hanya dalam waktu kurang dari dua pekan. Kota-kota besar dikuasai pemberontak. Puncaknya mereka berhasil menguasai Damaskus, ibu kota Suriah pada Minggu, 8 Desember 2024.

Pada Minggu, 8 Desember 2024, pemimpin pemberontak Suriah Abu Mohammed Al Julani mengucapkan pidato kemenangan di Masjid Umayyah yang bersejarah di Damaskus. Al Julani memuji kemenangan faksi pemberontak Suriah.

"Kemenangan ini, saudara-saudaraku, merupakan peristiwa bersejarah bagi kawasan ini," kata Abu Mohammed Al Julani, yang kini menggunakan nama aslinya Ahmed al-Sharaa, dalam pidatonya di Masjid Umayyah seperti dilansir dari NDTV. 

Ia juga mengatakan pengambilalihan oleh pemberontak merupakan kemenangan bagi seluruh negara Islam. "Hari ini Suriah sedang dimurnikan," kata Al Julani. Ia menambahkan bahwa kemenangan ini lahir dari rakyat yang telah mendekam di penjara. "Para mujahidin (pejuang) telah memutuskan rantai mereka,"ujarnya.

Lalu apa penyebab rezim Bashar Al Assad runtuh dengan cepat? 

Aron Lund, seorang peneliti di lembaga pemikir Century International, mengatakan bahwa faktor utama  dalam keberhasilan pemberontak adalah kelemahan rezim dan berkurangnya bantuan internasional kepada Assad.

"Upaya pemimpin pemberontak militan Abu Mohammed Al Julani dalam membangun lembaga dan memusatkan sebagian besar pemberontakan di bawah kendalinya sendiri juga merupakan bagian besar dari cerita ini," kata dia dilansir dari Channel News Asia.

Perang saudara yang parah di Suriah diawali dengan tindakan keras terhadap protes antipemerintah pada tahun 2011. Garis depan sebagian besar tidak mengalami perubahan selama empat tahun terakhir, hingga pemberontak melancarkan serangan besar-besaran.

Berikut tiga faktor rezim Assad runtuh: 

1. Tentara Tak Berdaya 

Tentara Assad tak lebih dari sekadar cangkang kosong di tengah perang yang telah menewaskan lebih dari setengah juta orang dan menghancurkan ekonomi, infrastruktur, dan industri negara tersebut.

Pada tahun-tahun awal perang, para ahli mengatakan kombinasi dari banyaknya korban, pembelotan, dan penghindaran wajib militer menyebabkan Suriah kehilangan sekitar setengah dari 300.000 tentaranya. 

Menurut pemantau perang Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berpusat di Inggris, tentara tidak melakukan perlawanan berarti di beberapa daerah setelah pemberontak melancarkan serangan pada 27 November 2024. 

"Sejak 2011, tentara Suriah menghadapi pengurangan sumber daya manusia, peralatan, dan moral," kata David Rigoulet-Roze dari Institut Prancis untuk Urusan Internasional dan Strategis.

Tentara yang digaji rendah dilaporkan telah menjarah sumber daya untuk bertahan hidup. Banyak pemuda yang menghindari wajib militer.

Pada 4 Desember, Assad memerintahkan kenaikan gaji prajurit karier sebesar 50 persen. Dengan ekonomi Suriah yang buruk, gaji prajurit hampir tidak ada nilainya. Militer belum memberikan komentar resmi sejak Damaskus jatuh ke tangan pemberontak.

2. Ditinggalkan Iran dan Rusia 

Assad sangat bergantung pada dukungan militer, politik, dan diplomatik dari sekutu utama Rusia dan Iran.

Dengan bantuan mereka, ia berhasil merebut kembali wilayah yang hilang setelah konflik meletus pada 2011 dengan penindasan protes antipemerintah, dan intervensi Rusia tahun 2015 dengan kekuatan udara mengubah gelombang perang yang menguntungkan Assad.

Namun, serangan pemberontak bulan lalu terjadi saat Rusia masih terperosok dalam perang di Ukraina. Serangan udara Rusia kali ini gagal menahan pemberontak yang dipimpin militan yang menguasai sebagian besar wilayah termasuk kota-kota besar Aleppo, Hama, Homs dan akhirnya Damaskus.

Sekutu utama Assad lainnya, Iran, telah lama menyediakan penasihat militer bagi angkatan bersenjata Suriah dan mendukung kelompok bersenjata pro-pemerintah di lapangan.

Tetapi Iran dan kelompok sekutunya telah mengalami kemunduran dalam pertempuran dengan Israel sejak perang Gaza meletus. Iran juga kewalahan akibat perang Israel dengan Hizbullah .

3. Hizbullah Melemah 

Kelompok militan Lebanon, Hizbullah, telah secara terbuka mendukung Damaskus di lapangan sejak 2013. Hizbullah mengirim ribuan pejuang melintasi perbatasan untuk memperkuat militer.

Namun pemberontak melancarkan serangan bulan lalu pada hari yang sama ketika gencatan senjata mulai berlaku antara Israel dan Hizbullah, setelah lebih dari setahun permusuhan di Lebanon.

Hizbullah memindahkan banyak pejuangnya dari Suriah ke Lebanon selatan untuk berhadapan dengan Israel, sehingga melemahkan kehadirannya di negara tetangga. Sebuah sumber yang dekat dengan Hizbullah mengatakan bahwa ratusan pejuang kelompok itu telah tewas dalam konflik dengan Israel, tanpa memberikan angka pasti.

Pertempuran itu juga menghancurkan kepemimpinan Hizbullah. Pemimpin Hizbullah sebelumnya, Hassan Nasrallah, calon penggantinya, dan sejumlah komandan senior tewas dalam serangan udara Israel.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan penggulingan Assad adalah akibat langsung dari pukulan yang dilakukan terhadap Iran dan Hizbullah, pendukung utama Assad.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |