TEMPO.CO, Jakarta - Nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) mengklaim bahwa pihak mereka merupakan membuat pagar laut yang menghebohkan publik di Kabupaten Tangerang, Banten, mengungkapkan. Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer tersebut dibangun sebagai mitigasi abrasi air laut.
Pagar Laut Diklaim Atasi Abrasi
Koordinator JRP, Sandi Martapraja, mengatakan pada 11 Januari silam bahwa bila pagar laut tersebut dibangun oleh masyarakat setempat secara swadaya untuk cegah abrasi.
"Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi," ujar Sandi.
Sandi mengungkapkan bahwa tanggul laut berupa pagar pantai dengan struktur fisik sederhana yang dibangun JRP memiliki fungsi cukup krusial dalam menahan terjadinya potensi bencana abrasi yang dapat merusak daratan. Pagar pantai dapat mengurangi dampak gelombang besar, melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat merusak infrastruktur penduduk sekitar pantai. Selain itu, pagar laut dapat mencegah abrasi yang dapat mencegah pengikisan tanah di wilayah pantai agar tidak merugikan ekosistem dan pemukiman. Lebih jauh, Sandi mengungkap bila ancaman tsunami dapat diatasi.
Pemimpin utama JRP Kabupaten Tangerang tersebut juga mengatakan bila kondisi pagar laut yang terbuat dari bambu dapat dimanfaatkan menjadi tambak ikan. Hal tersebut lantas memunculkan peluang pengembangan ekonomi baru bagi masyarakat sekitar.
"Tambak ikan di dekat tanggul juga dapat dikelola secara berkelanjutan untuk menjaga ekosistem tetap seimbang. Tanggul-tanggul ini dibangun oleh inisiatif masyarakat setempat yang peduli terhadap ancaman kerusakan lingkungan," terangnya.
Walhi Sebut Pagar Laut Rusak Ekosistem
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi malah menilai bahwa kehadiran pagar laut di Kabupaten Tangerang telah merugikan nelayan dan merusak ekosistem lingkungan.
Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friyatna menjelaskan bila konstruksi pagar bambu di wilayah pesisir laut utara tersebut dapat mengakibatkan empat kerusakan alam.
“Pertama, kehadiran pagar-pagar itu akan menghambat laju arus laut. Kedua, pagar laut yang dibebani pasir sebagai media tancap juga berpotensi menimbun terumbu karang,” ujar Mukri pada Jumat, 17 Januari 2025. Mukri juga mengatakan dampak lain dari kehadiran pagar-pagar tersebut adalah muncul penumpukan sedimen akibat terhalang oleh pagar laut dari bambu yang menancap di pasir. Selain itu, tancapan bambu dapat memicu kekeruhan perairan laut.
Mutri menuturkan agar ancaman dari kerusakan alam dan terumbu karang di laut pantura tersebut harus diatasi dengan menindak segala bentuk pelanggaran agar tidak berdampak berkepanjangan. Walhi menentang keras segala bentuk aktivitas reklamasi, baik di laut Tangerang maupun lokasi lain karena reklamasi bukan menjadi kebutuhan publik dan tidak ada urgensinya, kecuali untuk menutup lubang bekas tambang.
Walhi mendorong pemerintah segera memberikan langkah tegas dengan membongkar pagar bambu tersebut. “Mestinya jangan berlama-lama, segera hancurkan pagarnya,” tegasnya.
Selain terkait dengan ancaman perusakan ekosistem, Walhi juga mendesak proses penegakan hukum dari eksistensi pagar laut yang disinyalir berhubungan dengan penerbitan sertifikat hak tanah atas tanah di wilayah laut. Hal tersebut merujuk pada pengakuan Menteri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid atas adanya kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) oleh PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa terhadap kawasan pagar laut Kabupaten Tangerang, Banten.
Walhi ingin pemerintah membatalkan pemberian hak atas tanah pada korporasi dan perorangan di atas wilayah laut utara Kabupaten Tangerang karena menutup akses ke sumber penghidupan masyarakat pesisir dan merusak lingkungan.
“Mengusut pelanggaran hukum pada proses pemberian hak atas tanah yang melibatkan para mafia tanah baik penerbit maupun pemegang sertifikat,” jelas Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi pada Senin, 20 Januari 2025.
Yudono Yanuar, Sapto Yunus, dan Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini