Grennadine Anggie
Gaya Hidup | 2025-11-23 22:21:57
Tinggal di keluarga yang hangat, saya tumbuh beriringan dengan mie kuah bercampur bawang goreng yang aromanya selalu menggugah hati. Setiap pagi, ibu saya selalu membuat beragam masakan demi menyemangati kami yang enggan bangun dari ranjang. Bagi saya, sarapan bukan hanya perihal perut, tetapi justru menjadi salah satu motivasi saya dalam menjalani hari.
sumber: review.bukalapak.com
Sayangnya, aroma sarapan tersebut telah tergantikan oleh sisa-sisa kantong plastik hasil takeaway semalam. Memasuki dunia yang semakin cepat dan serba terburu-buru, mempersiapkan bubur ayam bernutrisi kini hanya dinilai sebagai penambah kesibukan di pagi hari. Minuman sederhana seperti jahe atau teh herbal hangat bahkan telah tergantikan oleh kopi atau minuman instan siap seduh, penuh gula buatan dan bahan dasar kimiawi. Junk food atau makanan cepat saji dianggap sebagai penyelamat, sementara mereka yang mencoba mempertahankan pola hidup sehat dianggap berlebihan atau penuh pencitraan.
Perubahan kecil ini mungkin tampak sepele atau bahkan tidak disadari oleh sebagian besar orang, terutama untuk masyarakat yang turut tenggelam dalam pusaran globalisasi. Tetapi, sesungguhnya, berangkat dari perubahan sederhana ini, telah tercermin persoalan besar yang sedang dihadapi Indonesia menuju persiapan Indonesia Emas 2045 yaitu adanya pergeseran budaya makanan dan krisis gizi yang menyertainya.
Menurut laporan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan tahun 2024, prevalensi stunting nasional memang telah menurun menjadi 19,8%, tetapi angka ini masih jauh dari target ideal 14% pada tahun 2024. Survei ini juga dengan pahit membuktikkan bahwa hampir satu dari lima anak Indonesia mengalami hambatan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis. Padahal, balita yang mengalami stunting hari ini merupakan calon generasi usia produktif dua dekade mendatang, tepat ketika Indonesia menargetkan berjalannya “Indonesia Emas 2045”. Jika kondisi gizi masyarakat tidak dikritisi dan ditindaklanjuti, bonus demografi yang seharusnya menjadi kekuatan ekonomi, membangkitkan negara dari keterpurukan, justru berpotensi berubah menjadi beban sosial.
source: pinterest.com
Pergeseran pola makan bukan hanya karena kondisi ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya yang dianut masyarakat. Ketika sedang makan di sebuah restoran ayam goreng cepat saji, saya terkejut melihat seorang ibu yang menyuapi anaknya nasi tanpa lauk, hanya nasi putih dan saus sambal, dengan tangan. Berdasarkan perkiraan saya, anak tersebut bahkan sepertinya belum mencapai usia lima tahun. Ketika ibu saya bertanya kepada ibu dari anak tersebut, sang ibu hanya menjawab dengan “Syukur-syukur, yang penting dia mau makan.” Ternyata, di tengah arus modernisasi makanan instan dan cepat saji, kita tidak hanya kehilangan cita rasa tradisional, tetapi juga secara perlahan kehilangan gairah untuk meneruskan masa depan bangsa yang sehat.
Waktu memang tidak bisa diputar kembali hanya untuk menikmati semangkuk bubur ayam di pagi hari. Tetapi, pilihan untuk menghidupkan semangat tersebut, sepenuhnya ada di tangan kita bersama. Bubur ayam dan burger memang bisa sama-sama mengenyangkan, tetapi hanya salah satu yang mampu mengingatkan kita pada siapa diri kita sebenarnya. Sebab dalam setiap suapan makanan sehat, sebenarnya tersimpan identitas dan nilai kebersamaan yang bisa menjadi kunci untuk memperbaiki pola gizi bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

4 hours ago
14







































