Thufaila
Teknologi | 2025-11-23 17:47:16
Sumber: Fujitsu Global
Gelombang kecerdasan perkembangan buatan (AI) terus bergerak cepat, melampaui ritme perubahan teknologi yang kita kenal sebelumnya. Banyak yang menyambutnya sebagai tanda kemajuan peradaban, sementara sebagian lainnya menyimpan kegelisahan: apakah manusia sedang menciptakan alat bantu atau justru pesaing bagi dirinya sendiri?
Di titik ini, kita perlu menimbang kembali posisi manusia sebagai khalifah di bumi. Islam mengajarkan bahwa kemampuan akal, kreativitas, dan inovasi adalah amanah yang harus diarahkan pada kebaikan. Maka, ketika manusia menciptakan AI, sesungguhnya ia sedang memperluas fungsi akalnya—mengoptimalkan nalar untuk memecahkan masalah, mempercepat pekerjaan, dan meningkatkan kualitas hidup. Dalam kerangka ini, ancaman AI bukanlah perluasan kemampuan manusia.
Namun ada asumsi yang sering tidak diperiksa: bahwa teknologi selalu netral. Faktanya, teknologi sangat mempengaruhi nilai pembuatnya. Jika AI dikembangkan tanpa etika, ia dapat memperkuat ketimpangan, memastikan batas privasi, bahkan memanipulasi opini publik. Di sini pesan Islam memberi peringatan penting: kemajuan tidak dapat membutakan manusia dari tanggung jawab moral. Setiap inovasi harus tunduk pada prinsip keadilan ('adl), kejujuran (sidq), dan kemaslahatan (maslahah).
Skeptis mungkin berargumen bahwa AI justru berbahaya karena berpotensi mengambil alih pekerjaan manusia atau menimbulkan ketergantungan berlebihan. Kekhawatiran ini valid, tetapi tidak berarti menolak teknologi sama sekali. Tantangannya adalah memastikan manusia tidak menyerahkan otonomi moralnya. Dalam Islam, manusia tetap menjadi subjek utama; teknologi hanyalah alat. Yang perlu dijaga adalah kesadaran agar manusia tidak kehilangan keinginannya sebagai pengambil keputusan yang etis.
Melihat kenyataan umat Islam hari ini, banyak peluang yang bisa digarap. AI dapat menjadi alat dakwah yang lebih efektif, membantu pembelajaran Al-Qur'an, memperluas akses pendidikan, hingga mendukung penelitian ilmiah dunia Islam. Dengan bimbingan nilai-nilai syariah yang menekankan keseimbangan, AI bisa diarahkan untuk memperkuat kemanusiaan, bukan menggantikannya.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan “apakah kita siap menerima AI?”, melainkan “nilai apa yang kita sisipkan ketika menggunakannya?”. Jika prinsip Islam benar-benar kita jadikan kompas moral, maka teknologi bukan sekadar soal kecerdasan buatan—tetapi tentang kecerdasan manusia dalam menjaga arah peradabannya
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

4 hours ago
13







































