TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa perkara dugaan sumpah dan keterangan palsu, Ike Farida, menuding jaksa penuntut umum (JPU) tidak menjalankan tugasnya dengan adil. "Mereka yang seharusnya mencari kebenaran justru melukai rasa keadilan masyarakat dengan membengkokkan kebenaran," ujar Ike dalam sidang duplik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 25 November 2024.
Dalam pembelaannya, Ike menyampaikan keberatannya terhadap tuntutan 1,5 tahun penjara yang diajukan jaksa. Ia menganggap tuntutan tersebut berat dan tidak didasarkan pada bukti yang cukup. Ike menyebut kasus ini bermula dari pelapor yang justru memiliki sejumlah pelanggaran, seperti ketidaklengkapan izin usaha hingga tahun 2022.
"Kami percaya, pelapor tidak selalu benar. Tidak sedikit pelapor yang sebenarnya adalah pelaku, dan korban malah dijadikan tersangka," katanya.
Perempuan berusia 44 tahun itu juga menyoroti aspek hukum yang dinilai lemah. Dia menyebut ahli-ahli yang dihadirkan dalam persidangan, termasuk ahli hukum pidana, telah menegaskan tidak adanya bukti sah yang menunjukkan dirinya bersalah. "Mens rea tidak terbukti. Ini bukan perkara pidana, melainkan terkait hak perdata yang dilindungi oleh hukum," ujar Ike.
Di hadapan Majelis Hakim, Ike memohon keadilan. Ia menekankan bahwa kasus ini tidak hanya berdampak pada dirinya, tetapi juga keluarga dan kehidupan personalnya. Dengan suara bergetar, ia menyebutkan bahwa penahanannya telah memisahkan dirinya dari peran-peran penting sebagai ibu, anak, dan istri. "Jangan biarkan korban dijadikan korban lagi. Hukum harus melindungi, bukan malah menambah penderitaan," tutur Ike diiringi isak tangis kerabat yang turut hadir di ruang sidang.
Sidang ini mencuri perhatian lantaran sejumlah sahabat dan pendukung Ike hadir di pengadilan. Mereka menunjukkan solidaritas dengan memeluk Ike usai persidangan. Dalam dupliknya, Ike mengatakan, kerabatnya bahkan mengutuk apa yang mereka sebut sebagai “re-viktimisasi” terhadap Ike oleh aparat penegak hukum.
Sidang duplik ini menjadi salah satu babak penting dalam perjalanan hukum Ike Farida. Majelis hakim dijadwalkan akan menggelar sidang putusan pada pekan depan, Selasa, 3 Desember 2024. Ike menutup pembelaannya dengan doa dan harapan agar keadilan dapat ditegakkan.
"Kami serahkan semua kepada Majelis Hakim yang mulia. Semoga keputusan ini menjadi cerminan hukum yang bersih dan berpihak pada kebenaran," ucap dia.
Kasus Ike Farida bermula dari konflik panjang dengan PT Elite Prima Hutama (EPH), pengembang apartemen Casa Grande Residence. Pada 2012, Ike membeli unit apartemen secara tunai, tapi pengembang menolak menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Akta Jual Beli (AJB). Alasannya, hukum mensyaratkan adanya perjanjian perkawinan pisah harta bagi warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan warga negara asing (WNA).
Dalam kasus Ike, ia menikah dengan pria WNA tanpa perjanjian pisah harta. Gugatan Ike terhadap PT EPH berakhir pahit. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, hingga Mahkamah Agung (MA) menolak tuntutannya, dengan alasan tidak ditemukan bukti wanprestasi dari pihak pengembang. Namun, Ike tidak menyerah. Ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dengan membawa bukti baru atau novum. Kali ini, MA memenangkan Ike, mengakui haknya atas unit apartemen tersebut.
Meski begitu, kemenangan tersebut berbuntut panjang. Ike dilaporkan oleh PT EPH atas dugaan memberikan sumpah dan keterangan palsu. Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ike diduga mengetahui bahwa novum berupa surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta tertanggal 27 November 2015 telah digunakan dalam sidang di PN Jakarta Selatan tahun yang sama. Namun, surat tersebut kembali diajukan dalam permohonan PK. Jaksa menuduh Ike secara sadar membaca, menyetujui, dan memberikan paraf pada dokumen tersebut sebelum diajukan oleh kuasa hukumnya.
Kasus ini menjadikan Ike sebagai terdakwa dengan tuntutan setahun setengah hukuman penjara. Di tengah proses hukum yang berjalan, Ike terus mempertahankan posisinya sebagai korban kriminalisasi oleh pengembang. “Saya hanya ingin memperjuangkan hak saya sebagai konsumen,” kata Ike.