TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan sistem pemilihan umum atau pemilu serentak antara pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) perlu dikaji ulang. Alasannya, hasil penelitian menemukan sistem tersebut tidak efisien dan efektif.
“Pengalaman untuk memisahkan antara pemilihan presiden dan pemilihan legislatif sudah ada,” kata Arya saat dihubungi di Jakarta, Senin, 25 November 2024.
Arya mengatakan pemilu serentak yang sudah dilalui pada 2019 dan 2024 tidak sesuai harapan yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi, yaitu efisien waktu, hemat anggaran, dan mengurangi konflik. Dia menyebutkan pada dua edisi pemilu serentak, harapan untuk pemilu efisien tidak terjadi karena membutuhkan anggaran yang besar dan tidak efektif.
Untuk itu, CSIS mengusulkan agar pemilu serentak perlu dipertimbangkan dan kembali memisahkan pilpres dan pileg supaya lebih baik.
“Pemisahan ini supaya publik memberikan perhatian yang lebih tinggi juga pada pemilihan legislatif. Karena ketika serentak, fokus publik hanya pada pilpres,” tuturnya.
Arya mengatakan, ketika pileg dan pilpres dipisah, maka antara calon legislatif dan warga bisa lebih intensif berkomunikasi, karena mereka bisa berfokus mengampanyekan program yang menjadi isu lokal.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyatakan pemilu serentak pada 2019 dan 2024 meningkatkan politik uang dibanding sebelum diterapkannya pemilu serentak.
Data mencatat ketika Pemilu 2014 berlangsung masih banyak pemilih yang menyatakan ambil uangnya kalau pilihan sesuai hati nurani. Namun, setelah diterapkan pemilu serentak, politik uang menjadi salah satu penentu kemenangan.
“Sebelum 2019, nilai uang Rp 100 ribu dapat mengubah pilihan hingga 60 persen dan pada pemilu serentak nilainya mengalami peningkatan,” katanya.
Bappenas Soroti Perlunya Model Keserentakan Pemilu yang Tepat
Sebelumnya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) menyoroti perlunya model keserentakan dan sistem pemilu yang tepat untuk meningkatkan kualitas pemilu di Indonesia.
“Salah satu pintu masuk dalam melakukan penataan pemilu harus dimulai melalui pemilihan model keserentakan dan sistem pemilu yang tepat, relevan, dan kontekstual untuk Indonesia,” ujar Direktur Politik dan Komunikasi Kementerian PPN/Bappenas, Nuzula Anggeraini, dalam ‘Seminar Nasional Mewujudkan Sistem Pemilu Yang Inovatif, Berintegritas, Aspiratif, dan Efisien’ di Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Nuzula menjelaskan sistem pemilu memiliki tujuh variabel teknis yang membentuknya. Ketujuh variabel teknis tersebut saling terhubung dan memengaruhi satu sama lain.
Adapun tujuh variabel teknis tersebut meliputi besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, ambang batas perwakilan atau parlemen, formula perolehan kursi, penetapan calon terpilih, dan jadwal pemilu.
Keserentakan dalam sistem pemilu, kata dia, merupakan bagian dari variabel jadwal pemilu. Berbagai variabel tersebut nantinya akan berpengaruh pada perbaikan atas kepemiluan yang harus dilakukan secara komprehensif.
Melalui perbaikan tersebut, Nuzula berharap kebutuhan atas evaluasi dan penguatan aturan pemilu sebagai refleksi atas penyelenggaraan pemilu serentak yang sudah dua kali diselenggarakan di Indonesia dapat terpenuhi.
“Dengan demikian, pencapaian tujuan pemilu dan program pembangunan di Indonesia dapat berjalan selaras dan kompatibel satu sama lain,” kata Nuzula.
Di sisi lain, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini secara aktif mendorong untuk membagi keserentakan pemilihan menjadi dua kategori, yakni keserentakan pemilihan nasional dan keserentakan pemilihan daerah.
Pada tingkat nasional, pemilu diselenggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan presiden. Sedangkan pada tingkat daerah, pemilu diselenggarakan untuk memilih DPRD dan kepala daerah.
“Lebih sederhana, kan? Kita juga sebagai pemilih lebih berkonsentrasi untuk mengawasi,” ucapnya.
Titi juga menyarankan agar kedua pemilihan tersebut diberi jarak selama dua tahun. Dengan demikian, mesin partai akan selalu bekerja karena, di antara dua pemilihan tersebut, terdapat momentum untuk melakukan evaluasi.
“Kalau desain pemilu serentaknya seperti sekarang, jangan pernah membayangkan kemampuan dan kapasitas profesionalisme punya negara kita bisa maksimal,” kata Titi.
ANTARA
Pilihan editor: Tidak Tercatat dalam DPT Jateng, Andika Perkasa akan Masuk Daftar Pemilih Khusus di TPS