Seluk Beluk RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Masuk Prolegnas Prioritas DPR

3 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Pengesahan Rancangan Undang-undang atau RUU Perampasan Aset menjadi UU dinilai penting sebagai upaya memiskinkan pelaku tindak pidana, termasuk korupsi. Namun, kendati sudah mengendap belasan tahun, wacana regulasi ini pengesahannya tak diprioritaskan pada 2025.

Setelah menuai beragam tanggapan, Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP Aria Bima justru menantang Pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) soal aturan perampasan aset bila dinilai mendesak.

“Kenapa (akan melobi) ketua umum parpol kalau memang dilihat urgent, turunkan Perppu aja lah,” kata Aria di Rumah Tim Pemenangan Pram-Doel, Jakarta, Ahad, 24 November 2024, menanggapi pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.

Adapun sebelumnya, Supratman mengaku bakal melobi para ketua umum partai politik guna memuluskan pembahasan RUU Perampasan Aset. Pernyataan itu disampaikan buntut RUU tersebut tak dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025.

“Karena itu sekarang kami lagi melakukan upaya dialog (soal RUU Perampasan Aset) bersama dengan Parlemen, dengan Ketua-ketua Umum Partai Politik,” kata Supratman di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.

Supratman memaparkan, upaya lobi itu diperlukan guna memastikan RUU Perampasan Aset akan langsung dibahas ketika Presiden Prabowo Subianto mengirim surat presiden (surpres). Terlebih, kata dia, terdapat preseden Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi telah mengirim surpres terkait perampasan aset namun diabaikan oleh DPR.

“Supaya begitu Presiden Prabowo akan mengirim supres untuk masuk di dalam prolegnas yang akan datang, memastikan bahwa itu akan dijamin untuk dibahas dan dilakukan pembahasan di Parlemen,” kata dia.

Sementara itu, Aria yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR mengatakan, pihaknya memastikan akan membahas RUU Perampasan Aset yang telah masuk kedalam Prolegnas jangka menengah 2025-2029. Kendati demikian, ia mengatakan pembahasan RUU Perampasan Aset tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa.

“Aparat hukumnya siap enggak? Jadi melihatnya lebih holistik. Tapi kalau pemerintah keburu segera akan mengeluarkan, turunkan Perppu,” kata dia. “Jangan jadi polemik kayak gini. Pak Jokowi bisa turunkan Perppu kok dulu. Pak Prabowo bisa. Kita hanya, kita tidak bisa tidak kalau Perppu harus setuju dan tidak setuju.”

Kepala Pusat Pemberdayaan Kemitraan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Supriadi mengatakan PPATK telah menginisiasi dan menyusun RUU Perampasan Aset sejak 2008. Namun, setelah 16 tahun berlalu, hingga kini RUU tersebut belum juga disahkan.

Menurut Supriadi, apabila RUU Perampasan Aset tidak segera disahkan, koruptor semakin punya kesempatan menyembunyikan kekayaan mereka, kerugian negara akibat korupsi akan terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum menurun, hingga hak masyarakat tercederai lantaran praktik korupsi tumbuh subur.

“PPATK sadar betul dampak yang akan terjadi jika RUU Perampasan Aset ini tidak segera disahkan,” ujar Supriadi dalam kelas literasi bertajuk ‘RUU Perampasan Aset: Mengapa Harus Tetap Disahkan?’ yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu, 20 November 2024.

Seluk-beluk RUU Perampasan Aset

Dikutip dari Majalah Tempo, RUU Perampasan Aset digagas pada 2008 oleh PPATK. Kemudian pada 2010, RUU ini rampung dibahas antar-kementerian/ lembaga. Lalu pada 2011, melalui surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH. PP.02.03-46, RUU Perampasan Aset disampaikan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Setelah dilakukan harmonisasi naskah akademik pada 2012, Pemerintahan Jokowi kemudian melanjutkan pembahasan RUU Perampasan Aset pada 2015 dan dimasukkan ke dalam Prolegnas Jangka Menengah 2015-2019. Namun, hingga di penghujung 2019, pengesahan RUU ini tak kunjung terwujud.

Pemerintah tak mengusulkan RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas 2020, tapi diusulkan pada Prolegnas 2021. Namun, pada Maret 2021, lagi-lagi DPR tak memasukkan RUU tersebut dalam Prolegnas Prioritas 2021. Pemerintah lalu kembali mengusulkannya dalam Prolegnas Prioritas 2022.

Namun, dalam rapat pada 7 Desember 2021, Baleg DPR untuk kesekian kalinya tidak memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas Prioritas 2022. Kala itu, Jokowi berjanji akan mendorong RUU Perampasan Aset sehingga bisa segera dibahas di DPR. Pemerintah mengusulkan RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas Prioritas 2023 pada 24 Agustus 2022.

Untuk pertama kalinya sejak dimasukkan ke dalam Prolegnas jangka menengah pada 2015-2019, RUU Perampasan Aset akhirnya masuk Prolegnas Prioritas lagi pada 2023. Supratman, yang saat itu menjadi Ketua Baleg DPR, mengatakan RUU Perampasan Aset sudah masuk Prolegnas 2023, tapi masih menunggu surpres serta naskah draf yang diusulkan pemerintah.

“Karena itu usulan pemerintah, saat ini DPR menunggu surpres dari pemerintah,” ujar Supratman pada Kamis, 30 Maret 2023.

Dorongan agar legislator Senayan segera membahas RUU Perampasan Aset juga muncul dalam rapat Komisi III DPR bersama Ketua Komite Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), saat itu Mahfud Md, dan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana. Dalam rapat itu, Mahfud Md mendesak Komisi Hukum DPR menyetujui pembahasan RUU tersebut agar Jokowi mengirim surpres.

“RUU itu sempat disetujui di Badan Legislasi, tapi keluar lagi ketika akan mulai ditetapkan sebagai prioritas padahal isinya sudah disetujui,” ujar Mahfud Md, yang juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan kala itu.

Dia mengklaim, pemerintah akan lebih mudah memberantas korupsi bila RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang. Pihaknya pun meminta Ketua Komisi III DPR saat itu, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul untuk mendukung pengesahan RUU tersebut agar komitenya dapat segera bertindak.

“Tolong, melalui Pak Bambang Pacul (Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto), tolong, Pak, Undang-Undang Perampasan Aset didukung biar kami bisa segera bertindak,” ujar Mahfud dalam rapat dengan Komisi III DPR.

Menanggapi permintaan Mahfud, masih dalam rapat tersebut, Ketua Komisi Hukum itu justru secara terang-terangan mengaku tak berani mengesahkan RUU Perampasan Aset maupun RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal jika tak diperintahkan oleh “Ibu”.

“Di sini boleh ngomong galak, Pak. Tapi Bambang Pacul ditelepon Ibu, ’Pacul, berhenti!’, ’Siap! Laksanakan!’,” ujar Bambang. “Jadi, permintaan Saudara langsung saya jawab. Bambang Pacul siap, kalau diperintah juragan. Mana berani, Pak,” ujar Bambang, yang diikuti tawa anggota Komisi III DPR lainnya.

Politikus PDI Perjuangan itu tak menjelaskan siapa yang dimaksud “Ibu” dalam rapat tersebut. Hanya, kata dia, untuk mengesahkan RUU tersebut, harus ada persetujuan dari para ketua umum partai politik. “Terang-terangan saja ini. Mungkin RUU Perampasan Aset bisa (disahkan), tapi harus bicara dengan para ketua partai dulu. Kalau di sini, enggak bisa, Pak,” ujarnya.

Koran Tempo edisi medio Juni 2023 melaporkan, pemerintah telah menyerahkan Supres untuk RUU Perampasan Aset kepada DPR sejak 4 Mei 2023. DPR pun berjanji akan membahasnya setelah masa resesi berakhir dan memasuki masa sidang pada 15 Mei 2023. Kala itu Mahfud Md mengatakan pemerintah menargetkan RUU ini disahkan pada Juni 2023. Namun, RUU tersebut tak kunjung dibahas oleh DPR RI hingga 2023 berakhir.

Dikutip dari Majalah Tempo edisi pertengahan Februari 2024, penerbitan UU Perampasan Aset masih terus diupayakan meski gagal tahun sebelumnya. Dalam pertemuan Kelompok Kerja Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi bersama PPATK dengan presiden, Jokowi meminta tim ikut mendorong pembahasan rancangan undang-undang tersebut di DPR.

“Presiden meminta tim mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset,” ujar Mahfud kepada wartawan sehari setelah pertemuan di Istana itu.

Namun, upaya tersebut berakhir gagal. DPR tak kunjung membahas RUU Perampasan Aset. Kepastian pembahasan RUU tersebut tidak kunjung terlihat pada rapat paripurna terakhir DPR, 6 Februari 2024 lalu. Dalam pidato Ketua DPR RI, Puan Maharani tidak menyinggung sedikit pun permasalahan RUU Perampasan Aset tersebut.

Sebelum purnatugas, Jokowi sebenarnya juga sempat mendorong DPR RI untuk segera menyelesaikan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset ini, yang menurutnya mendesak dilakukan. Dia menyebut RUU ini amat penting untuk pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga diharapkan bisa segera diselesaikan oleh DPR.

“Saya menghargai langkah cepat DPR dalam menanggapi situasi yang berkembang (revisi UU Pilkada). Respons yang cepat adalah hal yang baik, sangat baik, dan harapan itu juga bisa diterapkan untuk hal-hal yang lain juga, yang mendesak, misalnya seperti Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset,” kata Jokowi, Selasa, 27 Agustus 2024.

Saat itu Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengatakan bahwa UU tentang Perampasan Aset bakal dibawa ke periode Anggota DPR RI masa jabatan selanjutnya. Permintaan Jokowi tak bisa segera dituruti lantaran masa sidang Anggota DPR RI periode 2019-2024 akan segera berakhir.

“Masa sidang ini kan tinggal beberapa hari, jadi kemungkinan di masa sidang yang akan datang, di periode yang baru,” kata Politikus fraksi Partai NasDem ini di Universitas Borobudur, Jakarta, Ahad, 8 September 2024, dikutip dari Antara.

Di sisi lain, menanggapi desakan untuk disahkannya RUU Perampasan Aset yang berulang kali disinggung Presiden, Ketua DPR RI Puan Maharani justru meminta awak media bertanya kembali ke Jokowi ihwal urgensi RUU Perampasan Aset. Politikus PDIP ini mempertanyakan apakah mempercepat RUU tersebut bakal membuat lebih baik.

“Apakah dipercepat akan menjadi lebih baik? Itu tolong tanyakan itu,” kata Puan menanggapi permintaan Jokowi di Kompleks Parlemen DPR RI.Puan di Gedung DPR, Selasa, 10 September 2024.

Isu RUU Perampasan Aset muncul lagi pada penghujung Oktober lalu. Saat itu Anggota Baleg dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, belum bisa memastikan nasib RUU Perampasan Aset bisa masuk dalam Prolegnas 2024-2029. Dia mengatakan komunikasi antarfraksi di DPR mengenai RUU tersebut masih berlangsung dan dinamis.

“Kami di (internal PAN) sudah membahas itu, dan kami sudah komunikasikan dengan partai-partai lain. Tapi kelihatannya di partai lain juga tidak mudah,” kata Saleh saat ditemui usai menghadiri rapat pleno Baleg di kompleks gedung DPR, Senin, 28 Oktober 2024.

Saat ditanya soal sikap partainya terhadap kepastian RUU Perampasan Aset bisa dibahas di DPR, Saleh tak menjawabnya dengan tegas. Dia mengatakan akan menunggu inisiatif dari pemerintah. Saleh berdalih dinamika soal nasib RUU Perampasan Aset tidak hanya terjadi di parlemen, tapi juga di pihak pemerintah.

“Jadi jangan semua mata tertuju pada Baleg DPR, tetapi setengahnya itu juga ada di pemerintah. Kalau membahas RUU Perampasan Aset hanya DPR yang setuju, ya tidak bisa, semuanya harus berkoordinasi secara bersama dengan pemerintah,” ujar Saleh.

Belum pastinya nasib RUU Perampasan Aset juga diungkapkan Anggota Baleg dari PDIP Andreas Hugo Pareira. “Belum tahu. Nanti kita lihat setelah besok rapat Prolegnas, terus kemudian yang mana menjadi prioritas,” ujar politikus PDIP itu usai rapat pleno Baleg di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 24 Oktober 2024.

Pada rapat 18 November lalu, RUU Perampasan Aset tak muncul dalam daftar RUU yang diusulkan DPR RI untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2025. Artinya, perwujudan regulasi penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang tampaknya masih jauh dari angan.

Secara administrasi, sebenarnya pengusulan regulasi perampasan aset diwenangkan kepada Komisi III Bidang Penegakan Hukum serta Komisi XIII Bidang Reformasi Regulasi dan Hak Asasi Manusia. Namun, istilah “RUU Perampasan Aset” tak terdaftar dalam wacana beleid yang diusulkan kedua komisi tersebut.

Dalam rapat Baleg DPR bersama pemerintah membahas RUU prioritas 2025 di Senayan, Jakarta, pada Senin, 18 November 2024, Komisi III hanya mengusulkan dua wacana UU Prolegnas. Yaitu RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan RUU tentang Hukum Perdata Internasional.

Sedangkan Komisi XIII mengusulkan tiga wacana UU yang menjadi prioritas 2025, yaitu RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 49 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Terkini, Pemerintah kemudian kembali mengusulkan RUU Perampasan Aset masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas tahun 2025-2029. Supratman mengatakan pengajuan kembali RUU ini ke Prolegnas dilakukan karena pemerintah berkomitmen memberantas tindak pidana korupsi.

“Pemerintah berkomitmen memberantas korupsi dengan pengusulan RUU Perampasan Aset, kami letakkan di urutan ke-5 dari 40 usulan RUU Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029,” kata Supratman dalam keterangan resminya saat menghadiri rapat dengan Baleg RI.

Politikus Partai Gerindra itu menuturkan pemerintah sebelumnya juga telah mengusulkan RUU Perampasan Aset pada Prolegnas periode sebelumnya, tetapi pembahasan itu terganjal dinamika politik hingga akhirnya tidak tuntas di Komisi III DPR RI.

Pemerintah kembali mengajukan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas agar RUU tersebut dapat dibahas hingga akhirnya disahkan sebagai undang-undang oleh DPR. Ia memastikan pengajuan RUU ini merupakan bukti keseriusan Presiden Prabowo dalam memberantas tindak pidana korupsi.

“Saya jamin Presiden akan melakukan tindakan yang keras dalam upaya pemberantasan korupsi, itu komitmen,” katanya.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | ANNISA FEBIOLA | SAPTO YUNUS | IMAM HAMDI | NANDITO PUTRA | HAURA HAMIDAH | EKA YUDHA SAPUTRA | FAJAR FEBRIANTO 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |