
JOGLOSEMARNEWS.COM – Gotong royong adalah denyut nadi kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang sudah mengakar jauh sebelum republik ini berdiri. Di setiap daerah, nilai gotong royong hadir dengan nama dan bentuk berbeda-beda, seperti salah satunya tradisi Mapalus yang ada di Minahasa.
Tradisi ini tampak nyata dalam keseharian masyarakat di kaki Gunung Lokon, Minahasa. Ketika embun pagi masih menempel di dedaunan, terdengar bunyi tifa memanggil-manggil warga.
Warga pun akan datang berduyun-duyun, membawa alat pertanian, makanan sederhana, dan semangat kebersamaan. Tradisi Mapalus ini merupakan warisan budaya gotong royong khas Minahasa yang sudah mengakar jauh sebelum sistem modern pengorganisasian masyarakat lahir (Tumuju, 2023).
Di dalam tradisi Mapalus, termuat sistem nilai yang menyatukan masyarakat dalam solidaritas, tanggung jawab, dan rasa kekeluargaan. Awalnya, Mapalus tumbuh dari kebutuhan praktis masyarakat agraris.
Ladang-ladang yang luas dan pekerjaan yang berat hanya bisa diselesaikan melalui tenaga secara kolektif. Mulai dari menanam, memanen, hingga membangun rumah atau menyiapkan pesta adat, warga Minahasa bergantian saling membantu.
Sistem ini tidak mengenal upah formal; balasannya adalah kewajiban moral untuk hadir ketika anggota lain membutuhkan. Tradisi ini tercermin dalam ungkapan lokal ma-palus yang berarti bekerja bersama atau tolong-menolong (La Mansi, 2007).
Secara struktur, Mapalus memiliki seorang pemimpin yang bertugas mengatur waktu, membagi peran dan tanggungjawab serta menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kelompok.
Nilai kejujuran, keterbukaan, serta disiplin menjadi fondasi, sementara kebersamaan dalam makan di ladang dan pembagian hasil menegaskan semangat egaliter yang mereka junjung tinggi. Tradisi ini juga menciptakan jaringan sosial yang kokoh, sehingga masyarakat Minahasa memiliki mekanisme internal menghadapi kesulitan, baik dalam skala pribadi maupun kolektif.
Seiring berjalannya waktu, wajah Mapalus pun berubah. Urbanisasi dan modernisasi menggeser ladang menjadi kantor dan pasar, tetapi semangat Mapalus tetap hidup dalam bentuk baru. Kini, prinsip gotong royong itu meluas ke kegiatan pembangunan fasilitas umum, kegiatan sosial di kota, hingga arisan atau solidaritas dalam komunitas diaspora Minahasa (Sondakh, 2024).
Penelitian Rumbay (2022) menunjukkan bahwa nilai-nilai Mapalus dapat menjadi inspirasi dalam pendidikan karakter, manajemen organisasi, dan kepemimpinan gereja. Mapalus, dengan demikian, bukan warisan mati yang terkurung di pedesaan, melainkan kearifan hidup yang terus beradaptasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Di tengah arus individualisme global, Mapalus menghadirkan pesan bahwa kekuatan sejati ada dalam kebersamaan. Ia memperkuat kohesi sosial, menjadi modal ketika bencana datang, sekaligus penanda identitas budaya Minahasa. Sebagaimana ditulis Lundström-Burghoorn (1981), tradisi Minahasa termasuk Mapalus telah mengalami transformasi berulang sepanjang sejarah, namun tetap mempertahankan inti nilai gotong royongnya. Dalam konteks sekarang, Mapalus bukan hanya nostalgia masa lalu, melainkan peta jalan etika sosial yang bisa menginspirasi masyarakat Indonesia yang lebih luas.
Mapalus adalah napas yang menghidupkan solidaritas Minahasa. Dari ladang yang hijau hingga jejaring sosial modern, tradisi ini membuktikan bahwa nilai saling membantu, keterbukaan, dan tanggung jawab sosial adalah fondasi yang tak lekang oleh waktu. Di era yang semakin cepat dan penuh persaingan, Mapalus mengingatkan kita: hidup bersama, bekerja bersama, dan maju bersama adalah jalan menuju ketahanan komunitas yang sejati. [*]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.