JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Sikap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menutup pintu program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid III memicu beragam reaksi. Sejumlah kalangan pengusaha hingga pimpinan serikat pekerja kompak menilai sudah waktunya pemerintah memperbaiki sistem perpajakan daripada mengulang pengampunan pajak.
Wakil Ketua Umum Bidang Otonomi Daerah Kadin Indonesia, Sarman Simanjorang, mengungkapkan pengalaman sebelumnya menunjukkan program tax amnesty belum efektif mendorong kepatuhan wajib pajak. Menurutnya, pemerintah perlu menciptakan pendekatan baru yang lebih berkesinambungan ketimbang sekadar memberikan pengampunan.
“Kami merasakan tax amnesty tidak otomatis menaikkan kepatuhan. Yang dibutuhkan sekarang pelayanan pajak yang prima, berbasis digital, serta sosialisasi kebijakan yang lebih intens kepada dunia usaha,” terang Sarman kepada wartawan, Minggu (21/9/2025).
Ia menambahkan, sistem digitalisasi pajak seperti Coretax bisa menjadi pintu masuk untuk membuat wajib pajak merasa lebih mudah dan nyaman dalam membayar kewajiban. “Kalau aksesnya mudah dan komunikasinya jelas, target penerimaan negara lebih realistis tercapai,” ujarnya.
Nada senada disampaikan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam. Ia menilai pengampunan pajak berulang kali justru merusak kredibilitas sistem perpajakan dan memunculkan persepsi ketidakadilan. Menurutnya, pemerintah semestinya membangun ekosistem yang mendorong warga patuh pajak secara sukarela, bukan menunggu momentum tax amnesty.
“Yang penting bagaimana orang mau membayar pajak karena merasa dihargai. Jangan sampai masyarakat merasa seperti pesakitan setiap kali berurusan dengan pajak,” ujarnya. Bob mencontohkan praktik di sejumlah negara yang justru memberikan insentif atau kejutan pengembalian pajak secara otomatis bagi wajib pajak patuh.
Dari sisi pekerja, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, secara terbuka mendukung sikap Purbaya. Ia menegaskan tax amnesty memberi kesan orang kaya yang menunggak pajak mendapat pengampunan, sedangkan buruh tetap menanggung beban pajak penuh.
“Kami meminta reformasi pajak, bukan tax amnesty. PTKP harus dinaikkan menjadi Rp7,5 juta per bulan dan pajak pesangon atau THR dihapus. Itu akan meningkatkan daya beli masyarakat,” ujar Said Iqbal dalam konferensi pers persiapan aksi damai pada 30 September mendatang.
Ia menegaskan, bila batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan, uang yang tadinya tersedot pajak bisa dibelanjakan sehingga konsumsi masyarakat meningkat dan ekonomi bergerak. “Logikanya sederhana, daya beli naik, konsumsi naik, ekonomi tumbuh, lapangan kerja terbuka,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya menyatakan menolak penerapan tax amnesty jilid III. Ia menilai kebijakan pengampunan pajak yang terus diulang akan menciptakan moral hazard bagi wajib pajak. “Kalau amnesty berkali-kali, apa jadinya kredibilitasnya? Ini memberi sinyal boleh melanggar karena nanti akan ada amnesty lagi,” kata Purbaya di Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Menurutnya, kebijakan tax amnesty hanya membuat pemilik modal menyelundupkan dana mereka keluar negeri untuk kemudian diampuni kembali. Karena itu, pemerintah harus fokus memperkuat sistem perpajakan yang berkeadilan dan transparan, bukan sekadar mengulang pengampunan pajak.
Dengan pandangan yang beragam ini, wacana tax amnesty jilid III tampaknya akan menjadi perdebatan panjang di kalangan pelaku usaha dan pekerja. Namun setidaknya, langkah Menteri Keuangan kali ini membuka ruang diskusi baru tentang bagaimana membangun sistem pajak yang lebih dipercaya dan adil bagi semua pihak. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.