TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Perpres ini merupakan turunan spesifik dari Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Tenaga Kerja yang mengatur sanksi administratif dan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2021 tentang tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif.
Regulasi yang diterbitkan pada 21 Januari 2025 lalu ini, keluar di tengah penyidikan korupsi tata kelola sawit yang sedang di usut Kejaksaan Agung di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), nama kementerian sebelum dibagi menjadi Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika sebelumnya kewenangan penertiban Kawasan hutan berupa penagihan denda administratif berada di Kementerian Kehutanan kini dengan adanya Perpres ini kewenangan itu dipegang oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan. Satgas ini dibentuk melalui Perpres tersebut .
Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan diketuai langsung oleh Menteri Pertahanan dan tiga wakilnya yakni Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Anggotanya antara lain: Menteri Kehutanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Keuangan.
Pemerintah mengklaim Perpres dikeluarkan guna mempercepat penyelesaian masalah pertambangan, perkebunan di dalam kawasan hutan. Ada tiga tugas yang diamanatkan kepada Satgas melalui Perpres baru ini, yakni: penagihan denda administrati, penguasaan kembali kawasan hutan dan pemulihan aset di kawasan hutan.
Namun Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani memiliki pandangan berbeda dengan diterbitkannya Perpres No 5 Tahun 2025. “Perpres ini bersinggungan sekaligus bertentangan dengan pengusutan dugaan korupsi tata Kelola sawit yang diusut di KLHK,” ujar dia Senin, 26 Januari 2025.
Alasannya karena materi Perpres tersebut adalah Pasal 110A dan 110B UU Cipta Tenaga Kerja. Sebagaimana telah diungkap kejaksaan sebelumnya jika korupsi tata Kelola sawit yang sedang mereka usut salah-satunya terkait pelanggaran dua Pasal tersebut. “Dia bertentangan karena statusnya saat ini sedang diusut adanya dugaan tindak pidana korupsinya,” uja dia.
Menurutnya lahirnya Perpres ini menjawab alasan kenapa kejaksaan tidak kunjung mengumumkan siapa tersangka korupsi tata Kelola sawit di KLHK, meski sudah ada penggeledahan di kantor KLHK pada 3 Oktober lalu. Jaksa Agung Sanitiar Buhanuddin sebelumnya mengatakan, ada pejabat eselon 1 dan 2 KLHK yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Namun ia belum membocorkan siapa orangnya.
“Apakah penertiban dengan mekanisme Perpres ini bisa dijalankan secara pararel dengan penindakan Jampidsus jelas tidak, bagaimana bisa ditertibkan administrasinya kalau Jampidusus sedang menyita menyegel semuanya,” ujar dia. Sementara barbuk yang sudah disita oleh Jampidsus menurutnya tidak bisa dikeluarkan untuk mekanisme administrasi lain. Kalaupun mau, harus melalui mekanisme pengadilan.
Mengacu pada Pasal 5 Perpres No 5 Tahun 2025, penerbitan kawasan hutan bisa dilakukan melalui mekanisme pidana, perdata dan administrasi. Meski dalam regulasi ini menyatakan tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidananya, Julius berpendapat jika Perpres ini berpotensi mengedepankan denda administrasi untuk menambah penerimaan negara. Alih-alih menindak secara pidana perusahaan-perusahaan yang melanggar.