JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Gelombang penangkapan terkait kerusuhan akhir Agustus 2025 menyisakan babak baru yang memantik kontroversi. Aparat kepolisian di Jawa Timur dan Jawa Barat tidak hanya mengamankan pelaku, batu, hingga motor, tetapi juga menyita sejumlah buku karya pemikir dan sastrawan lintas zaman. Judul-judul yang disita mulai dari “Pemikiran Karl Marx” karya Franz Magnis-Suseno hingga “Anak Semua Bangsa” karya Pramoedya Ananta Toer, termasuk literatur anarkisme, sosialisme, sampai strategi perang gerilya.
Langkah penyitaan ini menuai pertanyaan publik lantaran belum jelas kaitan langsung antara isi buku dan tindakan perusakan yang dituduhkan kepada para tersangka. Di Mapolda Jawa Timur, buku-buku itu dipajang di atas meja konferensi pers berdampingan dengan batu, tameng, dan ponsel. “Kami mengamankan 11 buku yang kami nilai berpaham anarkis, selain puluhan barang bukti lainnya,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jatim, Kombes Pol Widiatmoko. Ia menegaskan penyitaan tersebut dilakukan untuk menelusuri sejauh mana bacaan bisa memengaruhi perilaku tersangka.
Polisi Jawa Barat mengambil langkah serupa. Dari 26 orang yang ditangkap dalam kericuhan di Bandung, aparat menyita ratusan buku dan artikel, mulai dari “Jiwa Manusia di Bawah Sosialisme” karya Oscar Wilde, “Tiga Puisi” karya Tsuji Jun, hingga literatur bertema anarkisme yang dibeli secara daring. Namun Polda Jabar belum memerinci siapa pemilik masing-masing buku. “Kami akan cek lebih lanjut ke penyidik,” ujar Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Hendra Rochmawan.
Mabes Polri berdalih penyitaan buku dilakukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh soal latar belakang para tersangka. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan polisi membutuhkan konstruksi perkara yang utuh, termasuk motif, narasi, dan sumber referensi yang mungkin menjadi acuan pelaku. “Pemidanaan dilakukan berdasarkan alat bukti yang ada. Hukum positif negara mengatur perbuatan seseorang secara objektif,” ujarnya di Jakarta, Jumat (19/9/2025). Namun ia tidak menjawab rinci alasan polisi menyita buku-buku yang sejatinya bisa diakses secara legal.
Pernyataan berbeda datang dari Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nanang Avianto. Ia menegaskan pembacaan buku-buku tersebut tidak dilarang, bahkan penting untuk pengetahuan. “Tetapi kalau kemudian dipraktikkan dalam bentuk perusakan atau kekerasan, itu masalah lain. Silakan baca, tapi jangan dipraktikkan hal-hal yang bertentangan dengan hukum,” katanya.
Langkah aparat yang menampilkan buku di meja barang bukti mengingatkan publik pada praktik lama penyitaan literatur kritis yang kerap terjadi di Indonesia. Beberapa pengamat hukum dan literasi menilai tindakan ini berisiko memunculkan stigma terhadap kebebasan membaca dan memperkuat pandangan bahwa ide bisa dipidana. Hingga kini, polisi belum menunjukkan korelasi empiris antara isi buku dengan aksi perusakan atau pembakaran yang terjadi. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.