CANTIKA.COM, Jakarta - Pada Kamis, 20 November 2025 UNDP, UNFPA, KemenPPPA, dan UN Women Indonesia mengadakan press briefing 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Digelar di kantor pusat PBB, Menteng, Jakarta Pusat. Press briefing kali ini menyoroti urgensi mengakhiri kekerasan di ranah digital sebagai bagian dari upaya mewujudkan ruang digital yang aman dan setara bagi perempuan. Berangkat dari kasus perundungan yang kian meluas di dunia online dan offline.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana semua orang terutama perempuan dan anak perempuan menghadapi risiko baru berupa pelecehan daring, doxing, eksploitasi digital, dan beberapa kekerasan berbasis digital lainnya.
Berikut pendapat beberapa ahli mengenai fenomena-fenomena tersebut dan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencegah dan mengurangi kekerasan bagi perempuan.
KPPPA Soroti Kesenjangan Akses Digital bagi Perempuan
Press Briefing: Menuju 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dilaksanakan di kantor PBB pada Kamis, 20 November 2025. Dari kanan ke kiri: Dwi Yuliawati, head of progammes UN Women Indonesia, Verania Andria, Assistant Representative UNFPA Indonesia, Syamsul Tarigan, analis kesetaraan gender dan inklusi sosial UNDP, Margareth Robin, asisten deputi perumusan dan koordinasi kebijakan bidang perlindungan hak perempuan KemenPPPA, dan Siska, National Information Officer PBB. Foto: CANTIKA/Tsabita Sirly Kamaliya
Margareth Robin, asisten deputi perumusan dan koordinasi kebijakan bidang perlindungan hak perempuan KPPPA menjelaskan tentang rangkaian hari peristiwa kekerasan terhadap perempuan. Fokusnya, perempuan dan anak perempuan adalah kelompok yang rentan mengalami kekerasan. Sehingga ia mengajak para perempuan untuk sadar, berkolaborasi, dan beraksi nyata untuk pencegahan kekerasan berbasis gender.
“Saat kita bicara tentang perempuan dan anak, ini adalah isu lintas sektor yang harus dikerjakan bersama dengan kolaborasi dan sinegritas,” jelas Margareth yang akrab disapa Iche.
Ia mengungkapkan data menurut APJII pengguna internet di Indonesia pada awal 2024 mencapai 221,5 juta jiwa dan di dominasi oleh genZ. Akan tetapi tingkat penetrasi pengguna laki-laki lebih tinggi yaitu 87,6% sedangkan perempuan 85,5 persen yang terkoneksi internet.
“Ini menurut data, berarti perempuan tertinggal dan tantangan bagi perempuan dalam transformasi digital,” lanjutnya. Maka diperlukan pemenuhan akses dan peningkatan kapasitas literasi digital agar perempuan dapat berpartisipasi setara.
UNDP: Kasus Kekerasan Digital Melonjak Hingga 1,530 Persen
Syamsul Tarigan seorang analis kesetaraan gender dan inklusi sosial PBB membawakan materi tentang AI dan kekerasan digital. Menurutnya kekerasan digital itu sangat fakta terjadi bahkan di kehidupan nyata, disebabkan beberapa faktor seperti tingginya konsumsi internet dan media sosial sehingga informasi hoaks atau misinformasi sangat cepat tersebar, lalu minimnya literasi digital juga memicu kekerasan terjadi kapan saja dan dimana saja. Dalam literasi digital ada empat pilar yang harus dicermati, yaitu digital skill, digital ethic, digital culture, dan digital safety.
“Nah, padahal yang terakhir sangat penting, tapi kebanyakan masyarakat kita menyepelekan hal ini, mereka enggak tahu bahaya nya dimana saat meluncur di media sosial,” ucap Syamsul.
Secara global korban kejahatan AI pornografi adalah perempuan. AI menjadi tantangan besar bagi UNDP untuk menghadapi kasus ini, bahkan di kawasan asia pasifik terjadi peningkatan 1,530 persen kejahatan AI. Di Indonesia kasus ini meningkat 550 persen dalam lima tahun dan memakan korban kebanyakan jurnalis perempuan, aktivis perempuan, politisi perempuan, dan perempuan muda usia 15-24 tahun. “Pokoknya yang memiliki public visisbility yang cukup besar ya korban-korban ini,” lanjutnya.
Syamsul menggarisbawahi bahwa kekerasan digital adalah kekerasan nyata, seperti membungkam suara dan ujungnya dapat merusak demokrasi. AI harus kita jadikan sebagai pemberdayaan bukan sebagai sinyal yang membahayakan. Ia berharap penegakan hukum di Indonesia harus lebih tegas lagi ditegakkan untuk mengurangi korban dari kekerasan digital.
UNFPA, Remaja Perempuan Rentan Tekanan Mental
Verania Andria, Assistant Representative UNFPA Indonesia saat menjelaskan materi "Upaya Bersama Mengakhiri Kekerasan Digital di Indonesia" di kantor PBB pada Kamis, 20 November 2025. Foto: CANTIKA/ Tsabita Sirly Kamaliya
Verania Andria, Assistant Representative UNFPA Indonesia menekankan tantangan kekerasan digital bagi perempuan adalah di masa remaja karena sedang berada di masa pubertas dan labil. Kerentanan yang meningkat akan menyerang mental health bagi remaja perempuan. Norma gender diskriminatif akan membuat orang dewasa cenderung menyalahkan korban bukan pelaku. “Misal ada anak cewek yang jadi korban, orang tuanya akan nge-judge ‘kamu ngapain foto-foto begitu’ sehingga anak tidak bercerita,” jelas Rara.
Rara menyampaikan fakta dari SPHPN 2024 menunjukkan bahwa 7,5 persen bahwa kekerasan seksual terjadi secara online pada remaja. Perlindungan kekerasan seksual di Indonesia baru terdapat dua undang-undang, yaitu UU TPKS dan UU ITE.
Solusi dan komitmen dari UNFPA adalah terus berkomitmen untuk mengakhiri kekerasan digital melalui literasi digital, remaja perlu dibekali kemampuan untuk mengenali, mencegah, dan melawan diskriminasi.
UNFPA berkolaborasi dengan KemenPPPA dan kominfo untuk membuat konten-konten edukasi, juga pelibatan orang muda dengan memberi sistem pendidikan kesehatan reproduksi remaja. UNFPA sedang mengusahakan kerjasama dengan Kemendikdasmen untuk menambah kurikulum ini di tingkat SD, SMP, hingga SMA.
Pilihan Editor: Dinas PPAPP Tambah 9 Pos Pengaduan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
TSABITA SIRLY KAMALIYA
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika.

















































