SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sebuah dokumen berstempel resmi yang beredar luas di kalangan sekolah membuat heboh Sleman. Surat perjanjian kerja sama dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kalasan dengan pihak sekolah itu memuat klausul kontroversial: penerima manfaat program Makan Bergizi Gratis (MBG) diminta menjaga kerahasiaan jika terjadi insiden serius, termasuk dugaan keracunan makanan.
Surat tertanggal 10 September 2025 itu berisi tujuh butir kesepakatan, mulai pengiriman paket MBG selama setahun hingga pengembalian peralatan makan. Namun butir ketujuh dinilai paling bermasalah karena memuat larangan membocorkan informasi apabila terjadi kejadian luar biasa, semisal dugaan keracunan, paket makanan tidak lengkap, atau masalah serius lainnya. Isi klausul itu menyebut penerima manfaat wajib menjaga kerahasiaan hingga pihak pertama menemukan “solusi terbaik”.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Mustadi, membenarkan keberadaan surat tersebut. Ia menyebut sekolah-sekolah penerima MBG memang diminta menandatangani perjanjian semacam itu. Menurutnya, klausul tersebut sangat memberatkan sekolah. “Informasi yang saya terima, semua sekolah (penerima MBG) diminta membuat perjanjian seperti itu. Saya sudah sampaikan ini berat sekali,” ujar Mustadi.
Mustadi mengaku baru mengetahui isi dokumen tersebut pada Agustus 2025 setelah menyelidiki program MBG menyusul kasus dugaan keracunan massal siswa SMP di wilayah Mlati. Ia menilai pemerintah daerah justru minim dilibatkan sejak awal. “Setelah ada peristiwa itu baru saya diberi tahu. Dokumen beredar lewat WhatsApp, saya baca ternyata klausulnya memperberat sekolah,” ungkapnya.
Tak hanya soal kerahasiaan, surat tersebut juga memuat kewajiban pihak sekolah mengembalikan peralatan makan dan mengganti rugi jika terjadi kehilangan atau kerusakan. Harga tiap paket peralatan makan tercantum Rp80 ribu per unit. Dalam surat itu, pengembalian alat makan bisa ditunda jika terjadi bencana namun tetap harus diinventarisasi.
Deputi Bidang Pengaduan Masyarakat Jogja Corruption Watch (JCW), Baharuddin Kamba, menilai isi perjanjian itu sebagai bentuk “sesat pikir” dan berbahaya. Menurutnya, jika benar ada dugaan keracunan, pihak sekolah wajib segera melapor agar siswa bisa mendapatkan penanganan medis secepatnya. “Bukan malah dirahasiakan. Apa menunggu korban jiwa baru boleh lapor?” tegasnya.
Ia juga menilai klausul semacam itu menunjukkan mekanisme program yang tidak transparan dan berpotensi melanggar prinsip akuntabilitas publik. “Jangan jadikan anak korban eksperimen politik,” katanya. JCW mendesak Badan Gizi Nasional (BGN) segera mencabut atau memperbaiki klausul tersebut.
Lebih jauh, JCW menegaskan pentingnya pengawasan independen terhadap MBG dengan melibatkan Dinas Kesehatan, BPOM, masyarakat sipil, serta orang tua siswa agar standar keamanan pangan tetap terjaga. “Pengawasan ketat perlu dilakukan agar program makan bergizi benar-benar membawa manfaat dan tidak menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Menurut Mustadi, temuan surat perjanjian ini akan dijadikan bahan evaluasi Pemkab Sleman saat berkoordinasi dengan BGN. “Masa sekolah tidak boleh menyampaikan ketika ada permasalahan?” ujarnya. Ia berharap revisi kebijakan bisa segera dilakukan agar program nasional ini berjalan sesuai prinsip transparansi dan keamanan bagi anak-anak penerima manfaat. [*] Disarikan dari sumber berita media darling
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.