Tradisi Bakar Batu, Cermin Hangatnya Solidaritas Masyarakat di Tanah Papua

1 hour ago 3
Masyarakat adat Papua tampak tengah memasak berbagai bahan makanan di atas batu-batu panas yang membara, sebuah pemandangan khas dari tradisi Bakar Batu di tanah Papua | Wikipedia

JOGLOSEMARNEWS.COM – Masyarakat adat Papua memiliki tradisi yang cukup unik dan istimewa, yakni tradisi Bakar Batu. Sesuai dengan namanya, tradisi ini menggunakan batu-batu yang dipanaskan hingga membara untuk memasak berbagai bahan makanan.

Bakar Batu merupakan sebuah tradisi memasak bersama masyarakat adat Papua yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Di Wamena dan sekitarnya, masyarakat suku Dani menyebutnya Kit Oba Isago, di Paniai dikenal Mogo Gapil, sementara di Jayawijaya disebut Barapen (Indonesia.go.id, 2019).

Tradisi Bakar Batu menjadi ritual sekaligus media yang mempertemukan keluarga, tetangga, dan kerabat dalam ikatan kebersamaan. Sebuah kebersamaan yang mencerminkan nilai gotong royong disertai penghormatan pada alam yang telah memberi kehidupan.

Tradisi ini dimulai dengan persiapan yang panjang. Para laki-laki mengumpulkan batu kali, kayu bakar, dan menggali lubang besar yang nantinya menjadi tungku tanah. Para perempuan menyiapkan bahan makanan—ubi, singkong, sayuran, pisang, dan daging.

Dulu, daging babi mendominasi ritual ini, namun kini di banyak komunitas daging ayam dipakai sebagai pengganti agar tradisi ini ramah bagi masyarakat yang tidak mengonsumsi babi (Transformasi Kemenag, 2022).

Batu-batu yang telah membara diletakkan di dasar lubang, ditutup lapisan daun, lalu di atasnya disusun bahan makanan, kembali ditutup daun dan tanah untuk menjaga panas. Selama beberapa jam, makanan matang dalam uap dan panas batu, menciptakan aroma khas.

Melalui tradisi tersebut, masyarakat Papua mengungkapan rasa syukur melalui perayaan atas panen, kelahiran, kesembuhan, atau kedatangan tamu penting. Dalam penelitian Kabunggul (2022), tradisi tersebut  juga menjadi media untuk memperkuat persatuan warga kampung.

Semua orang yang hadir ikut ambil bagian dalam pekerjaan kolektif—ada yang mengangkut batu, menyiapkan daun, memotong bahan makanan, hingga menjaga api tetap menyala. Pembagian hasil pun dilakukan merata tanpa membeda-bedakan latar belakang agama atau suku (Kasenda, 2024). Itulah sebabnya Bakar Batu disebut sebagai tradisi yang paling terasa nilai gotong royongnya di Papua.

Lebih jauh lagi, tradisi Bakar Batu juga menjadi simbol toleransi budaya. Di Jayawijaya, misalnya, komunitas Muslim Papua tetap menjalankan tradisi tersebut saat Ramadan atau Lebaran, hanya bahan dagingnya yang diganti menjadi halal (Transformasi Kemenag, 2022).

Fleksibilitas  itu  membuktikan bahwa tradisi leluhur tidaklah harus selalu kaku, melainkan bisa beradaptasi dengan keyakinan baru tanpa kehilangan ruhnya. Peneliti Kasenda (2024) menilai adaptasi tersebut sebagai bentuk “kosmopolitanisme lokal”, yakni sebuah kebesaran hati untuk menerima perbedaan demi menjaga harmoni sosial.

Namun, ada kalanya modernisasi menghadirkan tantangan. Anak-anak muda yang lebih sering bersekolah atau bekerja di kota kadang terputus dari akar tradisi tersebut. Lahan adat yang dulu luas juga perlahan menyempit, membuat pelaksanaan Bakar Batu membutuhkan kreativitas baru, misalnya memanfaatkan halaman gereja, lapangan sekolah, atau lokasi umum lainnya (Kabunggul, 2022).

Kendati demikian, banyak komunitas Papua di luar daerah asal tetap berusaha menghidupkan tradisi tersebut sebagai identitas kultural. Upaya nguri-uri  atau melestarikan tradisi budaya tersebut secara otomatis menjadi sebuah cara lain untuk tetap merasa “pulang” meski jauh dari kampung halaman.

Di sisi lain, tradisi Bakar Batu mengajarkan kesederhanaan, kebersamaan, dan keterbukaan terhadap keberagaman. Di era ketika individualisme semakin kuat merangsek, tradisi Bakar Batu mengingatkan kita bahwa sejatinya manusia butuh berkumpul, berbagi, dan merayakan hidup bersama-sama.

Dengan demikian, Bakar Batu juga menjadi teladan bagi seluruh Indonesia tentang bagaimana kebudayaan lokal mampu menjaga harmoni, menyatukan orang-orang dari latar belakang berbeda, dan tetap bertahan di tengah gempuran zaman. Di setiap lubang tanah yang memendam batu panas itu, tersimpan nilai luhur yang tetap relevan: solidaritas, toleransi, dan rasa syukur yang dalam. [*]

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |