REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Hari guru 25 November 2025, menjadi momentum untuk mendorong percepatan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Hal itu diungkapkan Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief, dalam tulisanya berjudul Menempatkan Guru Pada Pilar Martabat Bangsa Melalui Revisi Komprehensif RUU Sisdiknas, Selasa (25/11/2025).
Menurut Habib Syarief, fokus dalam revisi UU Sisdiknas adalah menyempurnakan tiga undang-undang eksisting yang krusial. Yaitu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
“Landasan hukum pendidikan nasional ini harus diintegrasi untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih koheren, progresif, dan responsif terhadap kebutuhan zaman,” ujar Habib Syarief.yang juga Panitia Kerja (Panja) perumusan RUU Sisdiknas ini.
Dalam pembahasan RUU Sisdiknas, kata Habib Syarief, salah satu isu sentral yang menjadi sorotan adalah perihal kesejahteraan guru. Ketentuan mengenai hak guru untuk memperoleh penghasilan, sebagaimana tertuang dalam salah satu pasal RUU, menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum.
Frasa di atas kebutuhan hidup minimum ini, kata Habib Syarief, harus dikritisi secara mendalam. Konsep 'minimum' secara inheren berpotensi menetapkan standar kesejahteraan yang rendah, seolah-olah mengisyaratkan bahwa negara cukup memastikan guru tidak hidup di bawah garis kemiskinan, tanpa secara eksplisit menjamin kelayakan hidup.
“Apabila pola pengaturan serupa diterapkan pada profesi-profesi vital lainnya, konsekuensinya dapat menyeret seluruh standar profesionalisme ke ambang batas ‘minimum’ yang sempit,” katanya.
Sehingga, kata dia perlu adanya pergeseran paradigma dalam frasa tersebut. Habib Syarief mengaku akan memperjuangkan penambahan kata ‘layak’. Sehingga, kalimatnya menjadi ‘memperoleh penghasilan yang layak di atas kebutuhan minimum’.
Penambahan frasa layak ini, kata Habib Syarief, bukan sekadar penambahan diksi, tapi sebuah penegasan filosofis dan yuridis bahwa profesi guru harus dihargai secara substansial, tidak hanya sekedar memenuhi ambang batas minimum.
“Ini akan memunculkan sebuah pertanyaan reflektif yang kuat, apakah pantas seorang guru di Indonesia, yang adalah ujung tombak pembentuk karakter dan intelektualitas bangsa, berpenghasilan seadanya? Frasa ini akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk memastikan bahwa kesejahteraan guru tidak lagi menjadi isu marginal, melainkan prioritas fundamental,” paparnya.
Isu krusial lain, kata dia, adalah rumusan pasal yang menyatakan bahwa guru bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih murid, serta melaksanakan tugas tambahan.
Frasa tugas tambahan ini, menurut Habib, tanpa definisi dan batasan yang jelas dapat menjadi celah terhadap penyalahgunaan dan pembebanan administratif yang tidak proporsional.
“Meskipun tujuan awalnya mungkin untuk memberikan fleksibilitas, realitasnya frasa ambigu ini berpotensi mengikis esensi profesionalisme guru, mengalihkan fokus mereka dari inti pedagogis, dan membatasi waktu efektif mereka untuk perencanaan serta pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas,” katanya.
Sebagai bentuk penghargaan kepada guru, Habib Syarief berkomitmen untuk berjuang agar guru ditempatkan pada posisi paling terhormat, yang layak sesuai dengan kontribusi mereka bagi bangsa. “Saya tidak akan pernah lelah memperjuangkan hak-hak para guru, memastikan kesejahteraan mereka terjamin, dan melindungi profesionalisme mereka dari segala bentuk distorsi. Masa depan Indonesia yang gemilang tidak akan pernah terwujud tanpa guru yang sejahtera, dihormati, dan diberdayakan secara penuh,” paparnya.

2 hours ago
8














































