TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno menyatakan pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto tidak menginginkan adanya konflik di Laut Cina Selatan. Indonesia bahkan sedang mencoba mencari suatu modalitas yang memungkinkan untuk mencapai kerja sama untuk menurunkan ketegangan di Laut Cina Selatan.
Di tingkat ASEAN, Arif menyebut sudah ada code of conduct yang membahas soal Laut Cina Selatan. Namun begitu, perangkat hukum itu belum memadai untuk meredakan ketegangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kadang-kadang kami masih melihat tensi di sana,” kata Arif kepada Tempo di kantor Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada Jumat, 17 Januari 2025.
Menurut Arif, kerja sama di kawasan Laut Cina Selatan harus memerhatikan faktor eksternal dan internal. Dalam konteks eksternal, Indonesia berpegang teguh pada ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Sementara itu, faktor internal yang harus diperhatikan Indonesia ialah perjanjian bilateral dengan sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam.
Lebih lanjut, mantan Duta Besar Indonesia untuk Jerman itu menegaskan Indonesia tak mengakui klaim Cina soal sembilan-garis-putus atau Nine Dash Line di Laut Cina Selatan. Posisi Indonesia tidak berubah dan tetap berpegang teguh pada ketentuan UNCLOS.
“Garis kita adalah garis yang sesuai dengan Konvensi Hukum Laut. Sudah ada juga garis yang disepakati dengan Malaysia, ada garis yang disepakati dengan Vietnam,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Sugiono menegaskan kembali sikap Indonesia atas polemik Laut Cina Selatan. Dia menekankan Indonesia tetap konsisten dan berpegang teguh pada hukum yang tertuang dalam UNCLOS tahun 1982. Indonesia juga akan mengutamakan penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan dengan mengedepankan perdamaian.
"Saya tegaskan posisi Indonesia adalah tetap mengutamakan penyelesaian berbagai ketegangan dan konflik secara damai," kata Sugiono saat menyampaikan pidato dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) 2025 di kantor Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Jakarta Pusat, pada Jumat, 10 Januari 2025. Sugiono juga mengatakan diplomasi Indonesia akan tetap berpegang teguh pada tujuan negara yang juga tercantum dalam konstitusi.
Sebelumnya, kunjungan luar negeri perdana Prabowo ke Cina pada 9 November 2024 menuai kegaduhan. Sebab, kalangan pakar hukum internasional dan hubungan internasional menganggap pernyataan bersama Presiden Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping sebagai kemunduran dalam diplomasi Indonesia di Laut Cina Selatan. Dalam butir 9 pernyataan bersama itu, Indonesia-Cina mencapai kesepahaman penting untuk menjalani pengembangan bersama di wilayah-wilayah tumpang-tindih.
Arah kebijakan luar negeri Indonesia secara detail dibahas dalam Majalah Tempo edisi khusus 100 hari kerja Presiden Prabowo yang terbit pekan ini. Dalam laporan “Politik Luar Negeri di Bawah Komandan Prabowo”, Tempo mengungkap adanya dominasi Presiden Prabowo Subianto atas kebijakan dan diplomasi politik luar negeri. Sebagai presiden, Prabowo memiliki kecenderungan untuk enggan didikte dalam pengambilan keputusan untuk urusan luar negeri. Keputusan yang Prabowo ambil tanpa kajian matang tak jarang membuat kegaduhan di dalam negeri dan dunia internasional.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini